Argue

Rabu, 12 November 2014

NEGARA, PUBLIK-PRIVAT, EKSEKUTIF, LEGISLATIF DAN YUDIKATIF (Sebuah Rangkuman)


I.          NEGARA
1.         Pengertian Negara
Secara literal istilah Negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa Inggris), Staat (bahasa Belanda dan Jerman) dan etat (bahasa Perancis), kata statestaat, etat itu diambil dari kata bahasa latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.
Secara terminology, Negara diartikan dengan organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah Negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah Negara, yakni adanya masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah) dan adanya pemerintah yang berdaulat.
Menurut Roger H. Soltao, Negara didefinisikan dengan alat (agency) atau wewenang masyarakat. Menurut Haroid. J. Laski negera marupakan suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.
Max Weber mendefinisikan bahwa Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberikan kekuasaan memaksan.
2.         Tujuan Negara
Tujuan sebuah Negara dapat bermacam-macam, antara lain:
a.    Memperluas kekuasaan
b.    Menyelenggarakan ketertiban hukum
c.    Mencapai kesejahteraan hukum.
Menurut Plato tujuan Negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan (individu) dan sebagai makhluk social. Sedangkan menurut Roger H. Soltau tujuan Negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (the freest possible development and creative self-expression of its members).
Dalam ajaran dan konsep Teokratis (yang diwakili oleh Thomas dan Agustinus, tujuan Negara adalah untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan dibawah pimpinan Tuhan.
Dalam konteks Negara Indonesia, tujuan Negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
3.         Unsur-Unsur Negara
Secara global suatu Negara membutuhkan tiga (3) unsur pokok, yakni rakyat (masyarakat/warganegara), wilayah dan pemerintah.
4.         Beberapa Teori Tentang Terbentuknya Negara
a.       Teori kontrak social (social contract)
Teori ini beranggapan bahwa Negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat. Beberapa pakar penganut teori kontrak sosial yang menjelaskan teori asal-mula Negara, diantaranya:
1)      Thomas Hobbes (1588-1679)
Menurutnya syarat membentuk Negara adalah dengan mengadakan perjanjian bersama individu-individu yang tadinya dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan. Teknik perjanjian masyarakat yang dibuat Hobbes sebagai berikut setiap individu mengatakan kepada individu lainnya bahwa “Saya memberikan kekuasaan dan menyerahkan hak memerintah kepada orang ini atau kepada orang-orang yang ada di dalam dewan ini dengan syarat bahwa saya memberikan hak kepadanya dan memberikan keabsahan seluruh tindakan dalam suatu cara tertentu.
2)      John locke (1632-1704)
Dasar kontraktual dan Negara dikemukakan Locke sebagai peringatan bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah mutlak tetapi selalu terbatas, sebab dalam mengadakan perjanjian dengan seseorang atau sekelompok orang, individu-individu tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka.
3)      Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
Keadaan alamiah diumapamakannya sebagai keadaan alamiah, hidup individu bebas dan sederajat, semuanya dihasilkan sendiri oleh idividu dan individu itu puas. Menurut “Negara” atau “badan korporatif” dibentuk untuk menyatakan “kemauan umumnya” (general will) dan ditujukan pada kebahagiaan besama. Selain itu Negara juga memperhatikan kepentingan-kepentingan individual (particular interest). Kedaulatannya berada dalam tangan rakyat melalui kemauan umumnya.
b.      Teori Ketuhanan
Negara dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin Negara ditunjuk oleh Tuhan Raja dan pemimpin-pemimpin Negara hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak pada siapapun.
c.       Teori kekuatan
Negara yang pertama adalah hasil dominasi dari komunikasi yang kuat terhadap kelompok yang lemah, Negara terbentuk dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan pendudukan dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah, dimulailah proses pembentukan Negara.
d.      Teori Organis
Negara dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup, manusia atau binatang individu yang merupakan komponen-komponen Negara dianggap sebagai sel-sel dari makhluk hidup itu. Kehidupan corporal dari Negara dapat disamakan sebagai tulang belulang manusia, undang-undang sebagai urat syaraf, raja (kaisar) sebagai kepala dan para individu sebagai daging makhluk itu.
e.       Toeri Historis
Teori ini menyatakan bahwa lembaga-lambaga sosial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.
5.         Bentuk-Bentuk Negara
Bentuk Negara dalam konsep dan teori modern saat ini terbagi dalam kedua bentuk Negara, yakni Negara kesatuan (unitarisme) dan Negara serikat (federasi)
a.       Negara kesatuan
Negara kesatuan merupakan bentuk suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Dengan satu pemerintah yang mengatur seluruh daerah.
Negara kesatuan ini terbagi 2 macam, yaitu:
1)      Negara kesatuan dengan system sentralisasi yaitu urusan Negara langsung diatur oleh pemerintah pusat
2)      Negara kesatuan dengan system desentralisasi yakni kepala daerah sebagai pemerintah daerah.
b.      Negara serikat
Kekuasaan asli dalam Negara federasi merupakan tugas Negara bagian, karena ia berhubungan dengan rakyatnya, semetara Negara federasi bertugas untuk menjalankan hubungan luar negeri. Pertahanan Negara. Keuangan dan urusan pos.
Selain kedua bentuk Negara tersebut. Bentuk Negara dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu: Monarki, Oligarki dan Demokrasi
II.          PUBLIK DAN PRIVAT
Mayor Polak (Sunarjo, 1984:19) memberikan definisi atau pengertian publik (khalayak ramai) adalah sejumlah orang yang mempunyai minat sama terhadap suatu persoalan tertentu. Mempunyai minat yang sama tidak berarti mempunyai pendapat yang sama. Dengan demikian, publik adalah sejumlah orang yang berminat dan merasa tertarik terhadap suatu masalah dan berhasrat mencari suatu jalan keluar dengan mewujudkan tindakan yang konkret. Sedangkan definisi atau pengertian publik menurut Soekamto adalah kelompok yang tidak merupakan kesatuan. Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui media komunikasi baik media komunikasi secara umum misalnya pembicaraan secara pribadi, desas-desus, melalui media komunikasi massa misalnya surat kabar, radio, televisi, dan sebagainya. Bogadus mengatakan bahwa publik itu adalah sejumlah besar orang antara yang satu dengan yang lain tidak saling mengenal, akan tetapi semuanya mempunyai perhatian dan minat yang sama terhadap suatu masalah (Sumarno, 1990: 24). Herbert Blumer (Sastropoetro, 1990: 108) mengemukakan ciri-ciri public sebagai berikut: (1). Dikonfrontasikan atau dihadapkan pada suatu isu; (2) Terlibat dalam diskusi mengenai isu tersebut; (3). Memiliki perbedaan pendapat tentang cara mengatur isu.
Sedangkan privat adalah hal-hal yang menyangkut urusan pribadi. Namun dalam perkembangannya. Privat disamakan dengan swasta, dimana untuk membedakan publik dan privat (swasta). Sehingga muncul istilah sektor publik dan sektor swasta.

III.          EKSEKUTIF, LEGISLATIF DAN YUDIKATIF (TRIAS POLITIKA)
Doktrin ini pertama kali dikenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquie (1689-1755) yang ditafsirkan menjadi “pemisahan kekuasaan”. Pemikiran John Locke mengenai Trias Politica ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property).” Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif, Baron Secondat de Montesquieu atau yang sering disebut Montesqueieu mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748. Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut: “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep ini terus mengalami persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
Negara republik indonesia mengenal adanya lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD 1945 dengan melaksanakan pembagian kekuasaan (distribution of power) antara lembaga-lembaga negara. Kekuasaan lembaga-llembaga negara tidaklah di adakan pemisahan yang kaku dan tajam, tetapi ada koordinasi yang satu dengan yang lainnya.
Sebagai negara demokrasi, pemerintahan Indonesia menerapkan teori trias politika. Trias politika adalah pembagian kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bidang yang memiliki kedudukan sejajar. Ketiga bidang tersebut yaitu :
1.        Legislatif bertugas membuat undang undang. Bidang legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2.        Eksekutif bertugas menerapkan atau melaksanakan undang-undang. Bidang eksekutif adalah presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang membantunya.
3.        Yudikatif bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang. Adapun unsur yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Diatas itu merupakan penjabaran dari tugas pokok dari tiap-tiap lembaga yang ada di Indonesia. Berikut ini merupakan penjelasan secara jelas tentang fungsi-fungsi dari ketiga tersebut :
1)        Fungsi-fungsi legislatif
Di Negara Indonesia lembaga legislatif lebih dikenal dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan yang berada di tingkat provinsi disebut DPRD provinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota.
Lembaga negara DPR yang bertindak sebagai lembaga legislatif mempunyai fungsi berikut ini :
a)         Fungsi legislasi, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang.
b)        Fungsi anggaran, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
c)         Fungsi pengawasan, artinya DPR sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang.
DPR sebagai lembaga negara mempunyai hak-hak, antara lain sebagai berikut.
a)         Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
b)        Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c)         Hak menyatakan pendapat adalah hak DR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai mitra kerja.
2)        Fungsi-fungsi eksekutif
Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepala suatu negara, simbol suatu negara. Di Indonesia sendiri lembaga eksekutif dipegang penuh oleh seorang presiden.
Presiden adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif yaitu presiden mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Sebelum adanya amandemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, tetapi setelah amandemen UUD1945 presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan wakil presiden sebelum menjalankan tugasnya bersumpah atau mengucapkan janji dan dilantik oleh ketua MPR dalam sidang MPR.
Sebagai seorang kepala negara, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden mempunyai wewenang sebagai berikut:
a.         Membuat perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
b.         Mengangkat duta dan konsul.
c.         Menerima duta dari negara lain
d.         memberi gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya kepada warga negara Indonesia atau warga negara asing yang telah berjasa mengharumkan nama baik Indonesia.
Sebagai seorang kepala pemerintahan, presiden mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyelenggarakan pemerintahan negara Indonesia. Wewenang, hak dan kewajiban Presiden sebagai kepala pemerintahan, diantaranya:
a)         Memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar
b)        Berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR
c)         Menetapkan peraturan pemerintah
d)        Memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang- Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa
e)         Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi adalah pengampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada orang yang dijatuhi hukuman. Sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan nama baik atau kehormatan seseorang yang telah dituduh secara tidak sah atau dilanggar kehormatannya.
f)          memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Amnesti adalah pengampunan atau pengurangan hukuman yang diberikan oleh negara kepada tahanan-tahanan, terutama tahanan politik. Sedangkan abolisi adalah pembatalan tuntutan pidana.
Selain sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, seorang presiden juga merupakan panglima tertinggi angkatan perang. Dalam kedudukannya seperti ini, presiden mempunyai wewenang sebagai berikut:
a)         menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR
b)        membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
c)         menyatakan keadaan bahaya.
3)        Fungsi-fungsi yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
a)         Criminal Law, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama. 
b)        Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
c)         Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.
d)        International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sumber :
Budiarto, Miriam Prof, dkk. (1999). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/04/trias-politica/
http://prakosopermono.blogspot.com/2011/01/trias-politica.html

PROGRAM KELUARGA HARAPAN: ILUSI KESEJAHTERAAN (Percikan Permenungan Terhadap Program Bantuan Tunai di Indonesia)


Pengantar
            Program Keluarga Harapan atau disingkat PKH adalah salah satu dari sekian program pemerintah dalam mengentas kemiskinan di Indonesia dalam bentuk bantuan langsung tunai kepada masyarakat penerima yang dikategorikan sebagai rumah tangga sangat miskin. Program ini boleh juga dikatakan kalau terlalu ekstrim menjadi “tameng” kebijakan populis pemerintah. PKH dapat dikatakan juga merupakan senjata sakti untuk menahan kemarahan rakyat terhadap pemerintah yang menaikkan harga BBM dan mencabut subsidi atasnya. Pemerintah lalu menyebutnya dengan dana kompensasi BBM.
            Dalam Ekonomi Sektor Publik kita mengenal welfare economic (ekonomi kesejahteraan) yang merupakan salah satu cetusan ide brilian Armatya Sen dalam menanggapi ketidakadilan dan kemiskinan yang mendera India dan negara-negara Sub Sahara Afrika. Kemudian di Indonesia ada Sri Edi Swasono dan Sritua Arief yang juga sejalan dengan pemikiran Sen ini. Mereka mungkin berbeda dalam menyikapi kasus. Namun intinya aksentuasi mereka pada kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat, dengan situsi kemiskinan yang juga sama di Asia dan Afrika.
            Tulisan ini sekedar mengajak kita untuk merenung bersama terkhusus para pengambil kebijakan di Republik ini agar mampu meredefeniskan kembali konsep bantuan tunai. Pemerintah mampu membantu warga masyarakat agar dapat keluar dari kungkungan kemiskinan dengan memikirkan kebijakan secara komprehensif untuk mengatasi masalah kemiskinan sampai ke hulu. Karena persoalan kemiskinan adalah persoalan multidimensional.

PKH: Apa itu?
Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang masuk kluster program perlindungan dan bantuan sosial yang ditujukan kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Apabila dibanding dengan program lain PKH penerima bantuan ditetapkan berdasarkan data BPS (PPLS) kemudian diverifikasi oleh pendamping PKH baru ditetapkan sebagai calon peserta PKH.
Program yang merupakan kerjasama lintas kementerian ini, pada tahap awal pelaksanaan program ada anggapan bahwa program ini kelanjutan dari program Bantuan Langsung Tunai yang memberikan bantuan tunai tanpa syarat. Namun berbeda dengan BLT, program ini mewajibkan RTSM harus memeriksakan ibu hamil dan balita ke layanan kesehatan seperti Posyandu dan Puskesmas dan menyekolahkan anaknya di sekolah SD dan SMP.
Bantuan dana tunai PKH diberikan kepada ibu atau perempuan dewasa (nenek, bibi atau kakak perempuan) dan selanjutnya disebut Pengurus Keluarga. Dana yang diberikan kepada pengurus keluarga perempuan ini bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan penerima bantuan. Pengecualian dari ketentuan diatas dapat dilakukan pada kondisi tertentu, misalnya bila tidak ada perempuan dewasa dalam keluarga maka dapat digantikan oleh kepala keluarga. Sebagai bukti kepesertaan PKH, KSM diberikan Kartu Peserta PKH. Uang bantuan dapat diambil oleh Pengurus Keluarga di Kantor Pos terdekat dengan membawa Kartu Peserta PKH dan tidak dapat diwakilkan. Sebagian peserta PKH menerima bantuan melalui rekening bank (BRI).
Adapun besaran bantuan dana yang didapat oleh RTSM adalah sebagai berikut:
Skenario Bantuan
Bantuan per RTSM per tahun
Bantuan tetap
200.000
Bantuan bagi RTSM yang memiliki: Anak usia di bawah 6 tahun dan/ atau ibu hamil/menyusui
800.000
Anak usia SD/MI
400.000
Anak usia SMP/MTs
800.000
Rata-rata bantuan per RTSM
1.390.000
Bantuan minimum per RTSM
600.000
Bantuan maksimum per RTSM
2.200.000

Tujuan umum PKH menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemisikinan (TNP2K) adalah untuk mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mengubah perilaku yang kurang mendukung peningkatan kesejahteraan dari kelompok paling miskin. Tujuan ini berkaitan langsung dengan upaya mempercepat pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs). Secara khusus, tujuan PKH adalah: 1). Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi Peserta PKH. 2). Meningkatkan taraf pendidikan Peserta PKH. 3). Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil (bumil), ibu nifas, bawah lima tahun (balita) dan anak prasekolah anggota Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM)/Keluarga Sangat Miskin (KSM).
Saat ini komponen PKH difokuskan pada sektor kesehatan dan pendidikan, mengingat kedua sektor ini merupakan inti peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Sasaran penerima bantuan PKH adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0- 15 tahun dan/ atau ibu hamil/nifas dan berada pada lokasi terpilih. Artinya bantuan PKH adalah bantuan bersyarat yaitu Si penerima bantuan harus; 1. masih mempunyai anak sekolah usia 7- 15 tahun serta anak usia 16- 18 tahun namun belum selesai pendidikan dasar 9 tahun wajib belajar; 2. Membawa anak usia 0-6 tahun ke fasilitas kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi anak; 3. Untuk ibu hamil, harus memeriksakan kesehatan diri dan janinnya ke fasilitas kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi Ibu Hamil.

Memutus Mata Rantai Kemisikinan?
Permasalahan kemiskinan menjadi permasalahan tersendiri disetiap negara, khususnya negara yang sedang berkembang. Indonesia berdasarkan data BPS, pada tahun 2013 terdapat 24 juta rumah tangga miskin. Untuk mengurangi angka kemiskinan diperlukan langkah-langkah konkret berupa kebijakan yang tepat sasar dan komprehensif.
Dalam kaitan dengan ini, maka PKH merupakan salah satu opsi yang dipilih pemerintah katanya (?) untuk memutus mata rantai kemiskinan. Memang pada masa kepemimpinan SBY-Boediono ini terdapat beberapa program pemerintah yang langsung menyentuh masyarakat miskin, antara lain Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, Program Beasiswa Miskin, Program Raskin, PNPM Mandiri Pedesaan, dan Program Kredit Usaha Rakyat. Program-program ini terlihat baik dalam artian menyentuh langsung pada kantong-kantong kemiskinan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah program ini benar-benar merata dan tidak diskriminatif? Karena jika kita melihat pada PKH ini, telah terjadi ketidakmerataan dan diskriminasi antar warga. Dimana dari penentuan rumah tangga penerima bantuan saja telah terjadi ketidakmerataan dan diskriminasi yang bisa saja menimbulkan rasa iri hati diantara sesama warga yang juga tergolong miskin. Karena tidak semua keluarga miskin di desa dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan pemerintah di atas.
Lalu bagaimana dengan RTM yang tidak memenuhi semua persyaratan di atas? Mungkinkan mereka diam dan berpasrah? Disini terlihat nyata bahwa negara dengan secara sadar mengadu domba warganya sendiri. Memilah-milah dalam memberikan bantuan. Sehingga sebenarnya rantai apa yang mau diputuskan; rantai kemiskinan atau kekeluargaan mereka?
Belum lagi negara kita selalu ada persoalan menyangkut data mendata. Karena hal ini sampai terbawa ke pemilihan umum. RTSM siluman pun banyak bermunculan, sampai-sampai media ramai-ramai memberitakan tentang kebanyakan warga yang mengantre BLT di kantor pos atau bank datang dengan sepeda motor dan di mamakai perhiasan di tangan, telinga atau dileher mereka. Ironis memang.
Besaran dana yang diterima pun menjadi persoalan, dimana dana rasa-rasanya tidak cukup untuk membantu RTM, karena bayangkan saja dengan kenaikan harga BBM semua harga barang pun ikut merangkak naik, termasuk pula biaya pendidikan dan kesehatan. Belum lagi biaya ATK, seragam dan sepatu sekolah. Pemerintah sepertinya setengah hati dalam mengangkat derajat kemiskinan warganya. Sekali lagi rantai apa yang mau diputus?

PKH: Hanya ilusi Kesejahteraan
            Secara ekonomis, kemiskinan menggambarkan keadaan rumah tangga atau penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup tertentu. Menurut Darmin Nasution, pembatas yang digunakan sebagai ukuran, sekalipun bersifat objektif tetap mengandung kenisbian karena “kebutuhan hidup tertentu” bisa berbeda menurut ruang, waktu dan kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu pembatas yang dikenal sebagai garis kemiskinan merupakan hasil persepsi dan kesepakatan yang bisa berbeda dari satu masyarakat yang sama dalam waktu yang berlainan, atau bahkan bisa berbeda antara persepsi seseorang dengan orang lainnya dalam waktu yang sama (Awan setya Dewanta, dkk [ed.], 1995: 107).
            Adalah Armatya Sen, seorang ekonom tulen dengan gagasan welfare economics dan development economics mengetengahkan peranan negara yang besar dalam menciptakan kesejahteraan. Oleh karena itu peranan negara tidak bisa dihapus. Dengan perkataan lain, dia menentang ide meminimalkan peranan negara. Tentang kesejahteraan, Sen berpendapat bahwa menilai kesejahteraan seseorang semata-mata dalam ukuran kebahagiaan atau pemenuhan-keinginan mengandung sejumlah keterbatasan nyata (2005: 37).
            Berbicara tentang peran negara, dalam konteks Indonesia, Sri Edi Swasono (2005: 37) mengatakan bahwa tanpa bermaksud mengabaikan pasal-pasal lain dalam UUD 1945, Pasal 33 dan Pasal 27 (ayat 2) negara berkewajiban menggunakan kekayaan dan sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh lagi Swasono menohok peran negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sehingga kesejahteraan sosial Indonesia bukanlah caritas atau filantropi. Kehidupan yang layak artinya adalah anti kemiskinan (2005: 49).
            Jika kita sekedar memandang jauh ke Amerika, maka kesejahteraan masyarakat disana hanya sebatas isu politik yang dimainkan oleh para calon presiden untuk memenangkan pemilihan. Namun dengan program reformasi kesejahteraan yang dijalankan AFDC mampu mengurai angka kemiskinan. Dengan program TANF yang memberikan bantuan tunai bagi single parents dan residivis agar mampu berdaya dan mandiri.
            Di Indonesia secara gamblang bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan hukum wajib yang dilaksanakan oleh para pengambil kebijakan negara ini, karena telah termuat dalam konstitusi negara. Itu berarti tidak ada alasan bahwa negara membiarkan rakyatnya merana dalam kemiskinan. Negara mempunyai tanggungjawab mutlak mensejahterakan warganya.
            Program Keluarga Harapan telah diluncurkan pemerintah untuk memenuhi sebagian perintah UUD 1945. Dengan harapan yang dititipkan padanya adalah mengangkat Indonesia dari jurang kemiskinan menuju pada kesejahteraan. Namun dalam praktiknya, program ini hanyalah sebuah ilusi, karena ketidakmerataan dan diskriminatif yang diperankan oleh negara dalam tataran penentuan penerima program.
            Salah satu kluster program ini yaitu pendidikan pun perlu dipertanyakan. Bagaimana negara mampu menciptakan generasi masa depan bangsa bila fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah tertinggal masih amat memprihatinkan. Gedung sekolah tidak layak, kekurangan guru, minimnya fasilitas belajar adalah persoalan lain dari bangsa ini yang menurut Armatya Sen bahwa pendidikan adalah salah satu faktor penyebab kemiskinan. Negara boleh saja memberi dukungan dengan dana lewat PKH ini namun apakah di daerah atau kampung mereka, pendidikan secara keseluruhan telah diperhatikan?
            Bagaimana mau mensejahterakan masyarakat Indonesia seutuhnya bila yang terjadi adalah sebuah kebijakan yang setengah-setengah. Ini berarti problematika mengatasi kemiskinan belumlah komprehensif, masih sebatas pada “asalkan ada program” atau sekedar menyenangkan hati rakyat, lip service. Kemudian diboncengi lagi dengan kepentingan politik sesaat, lengkaplah ilusi kesejahteraan lewat topeng bantuan tunai yang bernama PKH.
            Spirit yang diusung oleh PKH pun sepertinya mengawang-awang. Pemberdayaan atau kemandirian atau ketergantungan? Yang terakhir inilah rasanya lebih pas dalam men-judge program ini. Pemerintah tidak bisa meninabobokan rakyat dengan program bantuan tunai yang hanya membuat masyarakat duduk berpasrah menanti uluran tangan pemerintah. Program ini mendidik masyarakat untuk sangat bergantung.
            Belum lagi mental masyarakat kita yang doyan pesta dan banyak upacara adat yang menghamburkan duit yang tidak semestinya. Hal ini membuka peluang warga untuk menyalahgunakan bantuan. Pengawasan terhadap penggunaan uang pun tidak ada, maka sekali lagi ini sebuah ilusi kesejahteraan.
           
Simpul
Menyimak pembahasan yang sudah digagas di atas maka beberapa simpul yang dapat ditarik adalah:
1.        Program bantuan langsung di Indonesia lewat PKH masih sebatas pada hilir belum sampai pada hulu, artinya walaupun dapat dilaksanakan tapi tidak menyentuh akar kemiskinan itu sendiri.
2.        Program pengentasan kemiskinan di Indonesia belum memiliki action plan yang nyata, masih terbatas pada tataran program bukan implementasi
3.        Negara belum sepenuhnya mengajak warganya untuk berdaya dan mandiri
4.        Telah terjadi Ketidakmerataan dan diskriminasi terhadap masyarakat atas nama kebijakan
5.        Kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat belum sepenuhnya disediakan oleh negara.

Rekomendasi
Ketidakmerataan karunia nikmat dan kekayaan sumber-sumber ekonomi kepada perorangan, masyarakat atau bangsa adalah karena kuasa Tuhan pula, agar yang diberi berlebih menjadi sadar untuk menegakkan persamaan dalam masyarakat dan bersyukur kepadaNya, dan agar yang masih rendah tingkat kesejahteraannya berusaha keras untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi. Bertitikpijak pada pemikiran ini, dapat disimpulkan adanya tiga kelompok kemiskinan, yaitu kemiskinan yang alamiah, yang kultural dan yang struktural.
Kemiskinan alamiah dapat terjadi dimana saja, di masyarakat maju atau miskin. Kemiskinan kultural merupakan pilihan perorangan atau masyarakat yang bersangkutan karena budaya. Kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan dalam pembangunan adalah kemiskinan struktural. Di bidang kemiskinan struktural inilah, negara perlu merefleksikan kembali perannya terhadap warga masyarakat. Untuk itu beberapa pemikiran yang menjadi bahan permenungan kita bersama, terutama para pengambil kebijakan adalah sebagai berikut:
1.        Meredefenisikan kembali konsep program bantuan tunai dalam hal ini Program Keluarga Harapan
2.        Berilah masyarakat itu kail bukan ikan artinya mengajak masyarakt untuk mandiri, berdaya sendiri
3.        Lengkapilah dulu sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan untuk membangun sumberdaya manusia Indonesia
4.        Keseragaman program yang langsung dari pusat sudah saatnya dihilangkan karena karakteristik daerah harus mendapat tempat utama dalam kerangka kebijakan
5.        Persoalan kemiskinan adalah persoalan yang multidimensional karena itu harus ditangani dengan kebijakan yang komprehensif, tidak bisa setengah-setengah
6.        Belajar dari AFDC di Amerika yang dengan program reformasi kesejahteraan dengan program TANF-nya mampu mengurangi angka kemiskinan di Missouri dan memberdayakan masyarakatnya disana.


Referensi
Carington, William J., dkk. 2002. The Impact of Welfare Reform on Leaver Characteristics, Empoyment and Recidivism. Jerman: IZA
Dewanta, Awan Setya, dkk (ed). 1995. Kemisikinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media
Sen, Amartya. 2001. Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin?: Sebuah Perbincangan tentang Etika dan Ilmu Ekonomi di Fajar Milenium Baru (alih bahasa: Rahma Astuti). Bandung: Penerbit Mizan
Swasono, Sri Edi. 2005. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Perkumpulan PraKarsa

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2012. Panduan Pemantauan Program Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta

RE-DESAIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NO. 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL


Pengantar
            Sebuah peraturan daerah lahir atas inisiatif pemerintah yang disetujui oleh DPRD Kabupaten Flores Timur-NTT. Perda ini katanya lahir mengingat peredaran miras lokal yang dalam bahasa setempat dikenal “arak dan tuak”, begitu marak dan tanpa adanya pengawasan dan pengendalian dari pemerintah. Flores Timur dan Flores pada umumnya, masyarakatnya sejak dahulu kala akrab dan terbiasa mengkonsumsi miras lokal yaitu tuak atau arak (bahasa lainnya moke atau ciu). Buntutnya muncul gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, banyak siswa SMA yang bolos sekolah lantaran ingin menenggak minuman alkohol ini, selain itu beberapa kasus kematian di Flores Timur diakibatkan oleh minuman hasil penyulingan dari pohon lontar/enau ini.
            Namun disisi lain, pemerintah merasa kesulitan dalam menegakkan (implementasi) perda ini karena minuman ini sudah menjadi bagian yang in-heren dalam keseharian hidup masyarakat, sudah menjadi budaya atau tradisi dari masyarakat setempat, lebih dari itu banyak keluarga yang menyekolahkan anaknya dari hasil memproduksi atau menjual miras lokal ini.
            Memang ada beberapa minuman alkohol seperti bir, anggur dan sebagainya, namun dalam tulisan ini, penulis membatasi pada arak dan tuak sebagai munuman alkohol produk lokal  yang dalam pengimplementasian perda ini, pemerintah mengalami kesulitan dan tumbulnya pro kontra yang luas di tengah masyarakat, artinya terjadinya keseimbangan antara pro dan kontra. Pro memiliki alasan pun yang kontra juga memiliki alasan.

Miras Lokal
Tuak dan arak sejak dulu menjadi minuman yang dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat  Lamaholot (sebutan untuk Flores Timur) dalam berbagai acara. Dalam upacara adat, hampir  semua menyediakan tuak dan arak sebagai pelengkap. Begitu pula pesta-pesta adat. Menanam padi, memanen padi, membuka kebun, mendirikan rumah sampai pesta perkawinan, kematian, penerimaan komuni dan lainnya arak atau tuak menjadi minuman yang wajib disiapkan.
Tuak biasanya disimpan di wadah yang disebut Nawing (semacam gelas panjang yang terbuat dari bambu) dan dijual di pasar atau keliling kampung. Sebelum memakai jerigen kita selalu menjumpai arak yang disimpan di dalam kumba (gentong yang terbuat dari tanah liat). Riangkotek dan Lamahelan di Adonara serta Solor merupakan daerah yang terkenal akan kwalitas araknya yang terbaik.
Meminum arak dahulu kala memakai wadah dasa (tempurung kelapa) atau gelas dari bambu. Setiap kegiatan pesta di Larantuka ibukota Kabupaten Flores Timur, setelah tamu laki-laki selesai makan kita akan menjumpai satu dua pemuda berkeliling dari bangku ke bangku menawarkan arak atau tuak kepada tetamu. Menjamu tamu dengan menyediakan arak yang terbaik menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi yang mempunyai hajatan. Arak menjadi simbol silaturahmi.

Argumentasi Pro Perda
            Timbulnya pro-kontra di tengah masyarakat terhadap perda ini merupakan reaksi atas kebijakan yang menurut dua kubu ini berpegang pada alasan-alasan tertentu yang diyakini benar versi mereka. Bagi yang pro melihat dari perspektif pendidikan, mereka berpendapat bahwa miras lokal turut menyumbang angka putus sekolah, karena banyak siswa SMA kemudian bolos sekolah gara-gara ingin megkonsumsi miras lokal ini. Dengan harga terjangkau dan mudah didapat, miras lokal menjadi minuman primadona di kalangan warga Flores Timur, dus anak-anak SMA bahkan merambah hingga anak SMP maupun SD. Miris memang. Jikalau kondisi seperti ini diapatiskan, maka masa depan anak-anak Flores Timur akan terenggut.
            Selain itu menurut kubu pro, dari perspektif  kesehatan, miras dapat menimbulkan efek yang tidak baik bagi kesehatan. Ada beberapa kasus kematian di Flores Timur, berdasarkan rekam medis menyimpulkan bahwa kematian diakibatkan oleh konsumsi miras yang berlebihan. Selain itu, bila dikonsumsi berlebihan, minuman beralkohol dapat menimbulkan efek samping ganggguan mental organik (GMO), yaitu gangguan dalam fungsi berpikir, merasakan, dan berprilaku. Timbulnya GMO itu disebabkan reaksi langsung alkohol pada sel-sel saraf pusat. Karena sifat adiktif alkohol itu, orang yang meminumnya lama-kelamaan tanpa sadar akan menambah takaran/dosis sampai pada dosis keracunan atau mabuk.
Alasan lain dari pihak yang pro terhadap perda ini adalah gangguan kantibmas yang dilakukan oleh oknum-oknum yang telah mabuk miras. Mereka yang terkena GMO biasanya mengalami perubahan perilaku, seperti misalnya ingin berkelahi atau melakukan tindakan kekerasan lainnya, tidak mampu menilai realitas, terganggu fungsi sosialnya, dan terganggu pekerjaannya. Perubahan fisiologis juga terjadi, seperti cara berjalan yang tidak mantap, muka merah, atau mata juling. Perubahan psikologis yang dialami oleh konsumen misalnya mudah tersinggung, bicara ngawur, atau kehilangan konsentrasi. Srdangkan bagi yang sudah ketagihan biasanya mengalami suatu gejala yang disebut sindrom putus alkohol, yaitu rasa takut diberhentikan minum alkohol. Mereka akan sering gemetar dan jantung berdebar-debar, cemas, gelisah, murung, dan banyak berhalusinasi.

Argumentasi Kontra Perda
            Bagi yang kontra melihatnya dari beberapa perspektif seperti, budaya, dimana melihat bahwa tuak dan arak sudah menjadi budaya yang tentunya tidak bisa dilepas pisahkan dari hidup orang Flores Timur. Pada setiap upacara apapun, tuak dan arak menjadi suguhan utama, dan sebagai manifestasi penghormatan terhadap tamu yang datang. Terlebih pada upacara yang bernuansa adat, tuak dan arak mendapat tempat utama. Selain itu dalam upacara penyambutan tamu, tuak dan arak menjadi suguhan selamat datang bersanding dengan sirih pinang.
            Selain faktor budaya di atas, yang kontra juga memandang bahwa tuak dan arak menjadi salah satu profesi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan yang lebih istimewa adalah membiayai pendidikan anak. Banyak anak-anak NTT yang berhasil menjadi “orang” karena orang tuanya memproduksi dan menjual tuak atau arak.
            Yang kontra juga melihat bahwa proses pembuatan arak dan penyadapan tuak adalah kearifan lokal yang bernilai tinggi, sehingga tidak patut untuk dihilangkan. Di tengah arus besar kemajuan zaman, orang cenderung meninggalkan budaya lokal. Karena itu kearifan lokal yang terdapat dalam segelas tuak dan arak adalah nilai tinggi budaya yang patut dijaga dan dilestarikan.
Ada elemen masyarakat yang kontra terhadap perda ini yaitu  Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) berpendapat bahwa: Peraturan Daerah (Perda) No. 8 Tahun 2011 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol Kabupaten Flores Timur (Flotim) tidak sah secara sosiologis, filosofis dan yuridis. Selain itu, perda ini mengancam menghilangkan identitas budaya lokal bagi orang Flores yang merupakan warisan nenek moyang. Demikian Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus. Dikatakannya, TPDI mendesak agar perda itu dicabut karena selain menghilangkan identitas budaya lokal dan sangat tidak adil karena Perda ini dibuat untuk membatasi dan menghilangkan sementara minuman beralkohol buatan pabrik yang beredar di warung-warung tidak diawasi peredarannya. Hal ini dikatakannya menanggapi adanya aksi penolakan masyarakat Flotim terhadap perda ini. “Pemda dan DPRD Flotim harus segera membatalkan Perda No. 8 Tahun 2011 tersebut karena muatan materinya tidak memenuhi kriteria atau unsur sosiologis, yuridis, filosofis, historis dan politis karenanya bertentangan dengan UUD 1945 dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang lebih tinggi”.

Kesulitan Penegakkan Perda
            Ketika perda ini lahir, ternyata dalam implementasinya pemerintah mengalami dilematis untuk penegakan perda ini. Pada satu sisi hendak menegakkan aturan tapi pada sisi lain ternyata dapat mematikan usaha ekonomi kecil menengah karena yang rata-rata menjual miras lokal ini adalah masyarakat kecil yang menjual miras lokal ini hanya untuk menyambung hidup.
            Selain itu pemerintah sulit dalam menegakkan peraturan daerah ini karena rata-rata pengedar miras lokal ini memiliki usaha berskala kecil sehingga susah untuk terdeteksi. Rata-rata penjual miras lokal ini memiliki stok dalam jumlah kecil sehingga tidak tersedia setiap saat. Selain itu miras lokal ini setelah ditelusuri ternyata dimiliki setiap keluarga di Flores Timur, karena selain sebagai persediaan untuk tamu, namun ada juga yang menyimpan untuk hajatan atau upacara adat.
            Pengedaran miras lokal yang tidak terdeteksi ini membuat pemerintah lemah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian, produksi miras pun tidak dibuat secara besar-besaran karena produksi berskala kecil dan kurang lebih seperempat penduduk Flores Timur mampu menyuling arak dan menyadap air lontar atau enau menjadi tuak. Kemampuan begitu banyak penduduk Flores Timur ini kemudian menjadi sulit dalam melakukan pengawasan terhadap peredarannya.
            Kesulitan lain dalam penegakan perda ini adalah ternyata para penegak perda misalkan jajaran pemerintah daerah (satpol PP) atau pihak keamanan pun mengkonsumsi miras. Misalkan saja PNS yang kedapatan mabuk di kantor atau polisi yang mengkonsumsi miras di pos-pos polisi. Perilaku aparat sipil dan hukum ini tentu tidak memberikan teladan yang baik bagi masyarakat. Sehingga pemerintah seperti ogah-ogahan dalam menertibkan pengedaran miras lokal ini, karena toh mereka juga yang merasa dirugikan jika benar-benar dikendalikan pengedarannya.

Redesain Perda: Pembatasan Konsumen, Sanksi Hukum, Koperasi atau Penyalur
            Setiap program atau kebijakan yang dilahirkan tentu tidak menyenangkan semua pihak dan jelas ada pro kontra mewarnai kebijakan yang telah diketok palu di lembaga wakil rakyat. Pun pula berlaku pada Perda Flores Timur No. 8 Tahun 2011 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol ini. Pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah sepertinya tidak bisa diimplementasikan dengan baik karena alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas.
            Maka untuk lebih mudah dalam pengimplementasian perda ini maka perlu di re-desain dengan harapan bahwa dapat mengakomodir masukan dua kubu, baik pro maupun kontra. Re-desain ini tentunya juga mengambil jalan tengah (win-win solution) sehingga tidak menguntungkan salah satu pihak dan mengorbankan pihak lain. Artinya produsen dan pengedar tuak dan arak tidak dibatasi dalam usaha ekonomi dan pihak yang merasa dirugikan dengan adanya miras lokal ini pun tidak dikecewakan.
            Berkaitan dengan pembatasan konsumen, sepatutnya perlu diatur dalam pasal dari perda ini adalah pembatasan konsumen miras yaitu usia 18 tahun ke atas sesuai ketetapan pemerintah. Pembatasan konsumen ini agar mencegah anak-anak bawah umur untuk mengkonsumsi terkhusus anak-anak usia sekolah dari SD hingga SMA. Nah, disinilah dituntut sosialisasi yang intensif dari pemerintah bagi pengedar atau penjual sehingga tidak boleh menjual miras lokal ini bagi anak-anak usia dibawa 18 tahun. Selain itu sanksinya juga harus diatur dalam perda ini bagi pengedar yang melanggar dengan menjual kepada anak yang belum cukup umur sesuai batasan dalam perda.
            Sanksi hukum yang perlu diatur dalam perda ini juga adalah bagi pemabuk miras. Dengan harga yang terjangkau dan mudah didapat, tuak dan arak ini kemudian jadi minuman primadona dikalangan warga Flores Timur. Dimana-mana dijumpai ada warga yang berkumpul untuk minum minuman alkohol ini. Ada yang di rumah, di pasar, kantor, kapal ikan yang sedang berlabuh, di ladang, di pantai bahkan ada yang ‘nongkrong’ di jalan raya atau gang-gang sambil menenggak miras ini. Akibat kelebihan menenggak miras lokal ini alhasil membuat penikmatnya hilang kesadaran alias mabuk. Amat disayangkan bahwa ada oknum tertentu yang sudah mabuk kemudian membuat keributan, entah berkelahi dengan sesama peminum, memukul orang lain, memalak atau memeras orang yang sedang lewat. Ada yang lebih fatal yakni sampai terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika hal seperti ini dibiarkan tentunya merugikan orang lain dan munculnya kasus kekerasan, karena itu sanksi yang tegas perlu diatur dalam perda, menyangkut denda dan hukuman kurungan bagi pemabuk yang membuat keonaran.
            Untuk menjaga peredaran maka, disarankan bagi pemerintah untuk menentukan penyalur yang sudah terkualifikasi dan diberi ijin menjadi penyalur miras. Dapat pula pemerintah membangun koperasi di desa-desa untuk menjadi wadah penyalur miras lokal ini, agar mudah bagi pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian. Koperasi ini selain untuk memantau peredaran miras juga membantu usaha bagi produsen tuak dan arak untuk ekonomi rumah tangga mereka. Melalui wadah koperasi, produsen miras lokal dapat melakukan kredit untuk membuat usahanya lebih layak dan membantu dalam menyokong pemenuhan kebutuhan akan pangan, sandang dan papan.
            Ada pasal dalam perda ini juga patut dipertimbangkan untuk memasukkan penyalur dan ketentuan-ketentuannya. Artinya, bagi perorangan atau kelompok usaha yang ingin menjadi penyalur seharusnya disertifikasi atau diberi ijin pemerintah untuk menjadi penyalur. Dan penyalur harus diwajibkan untuk mentaati perda yang sudah ditetapkan, seperti pembatasan konsumen dengan melihat usia atau umur dari konsumen. Sertifikasi terhadap penyalur ini juga dilakukan demi menghindari arak atau tuak oplosan. Karena beberapa kasus kematian di Flores Timur juga dikarenakan meminum miras oplosan. Hal ini yang perlu dijaga oleh semua elemen masyarakat, tidak hanya pemerintah saja.