Pengantar
Sebuah
peraturan daerah lahir atas inisiatif pemerintah yang disetujui oleh DPRD
Kabupaten Flores Timur-NTT. Perda ini katanya lahir mengingat peredaran miras
lokal yang dalam bahasa setempat dikenal “arak dan tuak”, begitu marak dan
tanpa adanya pengawasan dan pengendalian dari pemerintah. Flores Timur dan Flores pada umumnya, masyarakatnya
sejak dahulu kala akrab dan terbiasa mengkonsumsi miras lokal yaitu tuak atau
arak (bahasa lainnya moke atau ciu). Buntutnya
muncul gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, banyak siswa SMA yang bolos
sekolah lantaran ingin menenggak minuman alkohol ini, selain itu beberapa kasus
kematian di Flores Timur diakibatkan oleh minuman hasil penyulingan dari pohon
lontar/enau ini.
Namun
disisi lain, pemerintah merasa kesulitan dalam menegakkan (implementasi) perda
ini karena minuman ini sudah menjadi bagian yang in-heren dalam keseharian hidup masyarakat, sudah menjadi budaya
atau tradisi dari masyarakat setempat, lebih dari itu banyak keluarga yang
menyekolahkan anaknya dari hasil memproduksi atau menjual miras lokal ini.
Memang
ada beberapa minuman alkohol seperti bir, anggur dan sebagainya, namun dalam
tulisan ini, penulis membatasi pada arak dan tuak sebagai munuman alkohol produk
lokal yang dalam pengimplementasian
perda ini, pemerintah mengalami kesulitan dan tumbulnya pro kontra yang luas di
tengah masyarakat, artinya terjadinya keseimbangan antara pro dan kontra. Pro memiliki
alasan pun yang kontra juga memiliki alasan.
Miras Lokal
Tuak dan arak sejak dulu menjadi minuman yang
dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat Lamaholot (sebutan untuk
Flores Timur) dalam berbagai acara. Dalam upacara adat, hampir semua
menyediakan tuak dan arak sebagai pelengkap. Begitu pula pesta-pesta adat. Menanam
padi, memanen padi, membuka kebun, mendirikan rumah sampai pesta perkawinan, kematian,
penerimaan komuni dan lainnya arak atau tuak menjadi minuman yang wajib
disiapkan.
Tuak biasanya disimpan di wadah yang disebut
Nawing (semacam gelas panjang yang terbuat dari bambu) dan dijual di pasar atau
keliling kampung. Sebelum memakai jerigen kita selalu menjumpai arak yang
disimpan di dalam kumba (gentong yang terbuat dari tanah liat). Riangkotek dan
Lamahelan di Adonara serta Solor merupakan daerah yang terkenal akan kwalitas
araknya yang terbaik.
Meminum arak dahulu kala memakai wadah dasa
(tempurung kelapa) atau gelas dari bambu. Setiap kegiatan pesta di Larantuka
ibukota Kabupaten Flores Timur, setelah tamu laki-laki selesai makan kita akan
menjumpai satu dua pemuda berkeliling dari bangku ke bangku menawarkan arak
atau tuak kepada tetamu. Menjamu tamu dengan menyediakan arak yang terbaik
menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi yang mempunyai hajatan. Arak menjadi
simbol silaturahmi.
Argumentasi Pro Perda
Timbulnya pro-kontra di tengah
masyarakat terhadap perda ini merupakan reaksi atas kebijakan yang menurut dua
kubu ini berpegang pada alasan-alasan tertentu yang diyakini benar versi
mereka. Bagi yang pro melihat dari perspektif pendidikan, mereka berpendapat
bahwa miras lokal turut menyumbang angka putus sekolah, karena banyak siswa SMA
kemudian bolos sekolah gara-gara ingin megkonsumsi miras lokal ini. Dengan
harga terjangkau dan mudah didapat, miras lokal menjadi minuman primadona di
kalangan warga Flores Timur, dus anak-anak
SMA bahkan merambah hingga anak SMP maupun SD. Miris memang. Jikalau kondisi
seperti ini diapatiskan, maka masa depan anak-anak Flores Timur akan terenggut.
Selain itu menurut kubu pro, dari
perspektif kesehatan, miras dapat
menimbulkan efek yang tidak baik bagi kesehatan. Ada beberapa kasus kematian di
Flores Timur, berdasarkan rekam medis menyimpulkan bahwa kematian diakibatkan
oleh konsumsi miras yang berlebihan. Selain itu, bila dikonsumsi berlebihan, minuman beralkohol dapat menimbulkan efek
samping ganggguan mental organik (GMO), yaitu gangguan dalam fungsi
berpikir, merasakan, dan berprilaku. Timbulnya GMO itu disebabkan reaksi
langsung alkohol pada sel-sel saraf pusat. Karena sifat adiktif
alkohol itu, orang yang meminumnya lama-kelamaan tanpa sadar akan menambah
takaran/dosis sampai pada dosis keracunan atau mabuk.
Alasan lain dari pihak yang pro terhadap perda
ini adalah gangguan kantibmas yang dilakukan oleh oknum-oknum yang telah mabuk
miras. Mereka yang terkena GMO biasanya mengalami perubahan perilaku, seperti
misalnya ingin berkelahi atau melakukan tindakan kekerasan lainnya, tidak mampu
menilai realitas, terganggu fungsi sosialnya, dan terganggu pekerjaannya.
Perubahan fisiologis juga terjadi, seperti cara berjalan yang tidak mantap,
muka merah, atau mata juling. Perubahan psikologis yang dialami oleh konsumen
misalnya mudah tersinggung, bicara ngawur, atau kehilangan konsentrasi. Srdangkan bagi yang sudah
ketagihan biasanya mengalami suatu gejala yang disebut sindrom putus
alkohol, yaitu rasa takut diberhentikan minum alkohol. Mereka akan sering
gemetar dan jantung berdebar-debar, cemas, gelisah, murung, dan banyak
berhalusinasi.
Argumentasi Kontra
Perda
Bagi yang kontra melihatnya dari
beberapa perspektif seperti, budaya, dimana melihat bahwa tuak dan arak sudah
menjadi budaya yang tentunya tidak bisa dilepas pisahkan dari hidup orang
Flores Timur. Pada setiap upacara apapun, tuak dan arak menjadi suguhan utama,
dan sebagai manifestasi penghormatan terhadap tamu yang datang. Terlebih pada
upacara yang bernuansa adat, tuak dan arak mendapat tempat utama. Selain itu
dalam upacara penyambutan tamu, tuak dan arak menjadi suguhan selamat datang
bersanding dengan sirih pinang.
Selain faktor budaya di atas, yang
kontra juga memandang bahwa tuak dan arak menjadi salah satu profesi masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan yang lebih istimewa adalah membiayai
pendidikan anak. Banyak anak-anak NTT yang berhasil menjadi “orang” karena
orang tuanya memproduksi dan menjual tuak atau arak.
Yang kontra juga melihat bahwa
proses pembuatan arak dan penyadapan tuak adalah kearifan lokal yang bernilai
tinggi, sehingga tidak patut untuk dihilangkan. Di tengah arus besar kemajuan
zaman, orang cenderung meninggalkan budaya lokal. Karena itu kearifan lokal
yang terdapat dalam segelas tuak dan arak adalah nilai tinggi budaya yang patut
dijaga dan dilestarikan.
Ada elemen masyarakat yang kontra terhadap perda
ini yaitu Tim Pembela
Demokrasi Indonesia (TPDI) berpendapat bahwa: Peraturan Daerah (Perda) No. 8 Tahun 2011 Tentang Pengawasan dan
Pengendalian Minuman Beralkohol Kabupaten Flores Timur (Flotim) tidak sah
secara sosiologis, filosofis dan yuridis. Selain itu, perda ini mengancam
menghilangkan identitas budaya lokal bagi orang Flores yang merupakan warisan
nenek moyang. Demikian Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
Petrus Selestinus. Dikatakannya, TPDI mendesak agar perda itu dicabut karena
selain menghilangkan identitas budaya lokal dan sangat tidak adil karena Perda
ini dibuat untuk membatasi dan menghilangkan sementara minuman beralkohol
buatan pabrik yang beredar di warung-warung tidak diawasi peredarannya. Hal ini
dikatakannya menanggapi adanya aksi penolakan masyarakat Flotim terhadap perda
ini. “Pemda dan DPRD Flotim harus segera membatalkan Perda No. 8 Tahun 2011
tersebut karena muatan materinya tidak memenuhi kriteria atau unsur sosiologis,
yuridis, filosofis, historis dan politis karenanya bertentangan dengan UUD 1945
dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang lebih tinggi”.
Kesulitan Penegakkan Perda
Ketika perda ini lahir, ternyata
dalam implementasinya pemerintah mengalami dilematis untuk penegakan perda ini.
Pada satu sisi hendak menegakkan aturan tapi pada sisi lain ternyata dapat mematikan
usaha ekonomi kecil menengah karena yang rata-rata menjual miras lokal ini
adalah masyarakat kecil yang menjual miras lokal ini hanya untuk menyambung
hidup.
Selain itu pemerintah sulit dalam
menegakkan peraturan daerah ini karena rata-rata pengedar miras lokal ini
memiliki usaha berskala kecil sehingga susah untuk terdeteksi. Rata-rata
penjual miras lokal ini memiliki stok dalam jumlah kecil sehingga tidak
tersedia setiap saat. Selain itu miras lokal ini setelah ditelusuri ternyata
dimiliki setiap keluarga di Flores Timur, karena selain sebagai persediaan
untuk tamu, namun ada juga yang menyimpan untuk hajatan atau upacara adat.
Pengedaran miras lokal yang tidak
terdeteksi ini membuat pemerintah lemah dalam melakukan pengawasan dan
pengendalian, produksi miras pun tidak dibuat secara besar-besaran karena produksi
berskala kecil dan kurang lebih seperempat penduduk Flores Timur mampu
menyuling arak dan menyadap air lontar atau enau menjadi tuak. Kemampuan begitu
banyak penduduk Flores Timur ini kemudian menjadi sulit dalam melakukan
pengawasan terhadap peredarannya.
Kesulitan lain dalam penegakan perda
ini adalah ternyata para penegak perda misalkan jajaran pemerintah daerah
(satpol PP) atau pihak keamanan pun mengkonsumsi miras. Misalkan saja PNS yang
kedapatan mabuk di kantor atau polisi yang mengkonsumsi miras di pos-pos
polisi. Perilaku aparat sipil dan hukum ini tentu tidak memberikan teladan yang
baik bagi masyarakat. Sehingga pemerintah seperti ogah-ogahan dalam menertibkan
pengedaran miras lokal ini, karena toh mereka juga yang merasa dirugikan jika
benar-benar dikendalikan pengedarannya.
Redesain Perda: Pembatasan Konsumen, Sanksi Hukum, Koperasi atau Penyalur
Setiap
program atau kebijakan yang dilahirkan tentu tidak menyenangkan semua pihak dan
jelas ada pro kontra mewarnai kebijakan yang telah diketok palu di lembaga
wakil rakyat. Pun pula berlaku pada Perda Flores Timur No. 8 Tahun 2011 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol ini. Pengawasan dan pengendalian
oleh pemerintah sepertinya tidak bisa diimplementasikan dengan baik karena
alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas.
Maka
untuk lebih mudah dalam pengimplementasian perda ini maka perlu di re-desain
dengan harapan bahwa dapat mengakomodir masukan dua kubu, baik pro maupun
kontra. Re-desain ini tentunya juga mengambil jalan tengah (win-win solution) sehingga tidak menguntungkan
salah satu pihak dan mengorbankan pihak lain. Artinya produsen dan pengedar
tuak dan arak tidak dibatasi dalam usaha ekonomi dan pihak yang merasa
dirugikan dengan adanya miras lokal ini pun tidak dikecewakan.
Berkaitan
dengan pembatasan konsumen, sepatutnya perlu diatur dalam pasal dari perda ini
adalah pembatasan konsumen miras yaitu usia 18 tahun ke atas sesuai ketetapan
pemerintah. Pembatasan konsumen ini agar mencegah anak-anak bawah umur untuk
mengkonsumsi terkhusus anak-anak usia sekolah dari SD hingga SMA. Nah,
disinilah dituntut sosialisasi yang intensif dari pemerintah bagi pengedar atau
penjual sehingga tidak boleh menjual miras lokal ini bagi anak-anak usia dibawa
18 tahun. Selain itu sanksinya juga harus diatur dalam perda ini bagi pengedar
yang melanggar dengan menjual kepada anak yang belum cukup umur sesuai batasan
dalam perda.
Sanksi
hukum yang perlu diatur dalam perda ini juga adalah bagi pemabuk miras. Dengan
harga yang terjangkau dan mudah didapat, tuak dan arak ini kemudian jadi
minuman primadona dikalangan warga Flores Timur. Dimana-mana dijumpai ada warga
yang berkumpul untuk minum minuman alkohol ini. Ada yang di rumah, di pasar,
kantor, kapal ikan yang sedang berlabuh, di ladang, di pantai bahkan ada yang ‘nongkrong’
di jalan raya atau gang-gang sambil menenggak miras ini. Akibat kelebihan
menenggak miras lokal ini alhasil membuat penikmatnya hilang kesadaran alias
mabuk. Amat disayangkan bahwa ada oknum tertentu yang sudah mabuk kemudian
membuat keributan, entah berkelahi dengan sesama peminum, memukul orang lain,
memalak atau memeras orang yang sedang lewat. Ada yang lebih fatal yakni sampai
terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika hal seperti ini dibiarkan
tentunya merugikan orang lain dan munculnya kasus kekerasan, karena itu sanksi
yang tegas perlu diatur dalam perda, menyangkut denda dan hukuman kurungan bagi
pemabuk yang membuat keonaran.
Untuk
menjaga peredaran maka, disarankan bagi pemerintah untuk menentukan penyalur
yang sudah terkualifikasi dan diberi ijin menjadi penyalur miras. Dapat pula
pemerintah membangun koperasi di desa-desa untuk menjadi wadah penyalur miras
lokal ini, agar mudah bagi pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian.
Koperasi ini selain untuk memantau peredaran miras juga membantu usaha bagi
produsen tuak dan arak untuk ekonomi rumah tangga mereka. Melalui wadah
koperasi, produsen miras lokal dapat melakukan kredit untuk membuat usahanya
lebih layak dan membantu dalam menyokong pemenuhan kebutuhan akan pangan,
sandang dan papan.
Ada pasal dalam perda ini juga patut dipertimbangkan
untuk memasukkan penyalur dan ketentuan-ketentuannya. Artinya, bagi perorangan
atau kelompok usaha yang ingin menjadi penyalur seharusnya disertifikasi atau
diberi ijin pemerintah untuk menjadi penyalur. Dan penyalur harus diwajibkan
untuk mentaati perda yang sudah ditetapkan, seperti pembatasan konsumen dengan
melihat usia atau umur dari konsumen. Sertifikasi terhadap penyalur ini juga dilakukan
demi menghindari arak atau tuak oplosan. Karena beberapa kasus kematian di
Flores Timur juga dikarenakan meminum miras oplosan. Hal ini yang perlu dijaga
oleh semua elemen masyarakat, tidak hanya pemerintah saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar