Argue

Rabu, 12 November 2014

RE-DESAIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NO. 8 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL


Pengantar
            Sebuah peraturan daerah lahir atas inisiatif pemerintah yang disetujui oleh DPRD Kabupaten Flores Timur-NTT. Perda ini katanya lahir mengingat peredaran miras lokal yang dalam bahasa setempat dikenal “arak dan tuak”, begitu marak dan tanpa adanya pengawasan dan pengendalian dari pemerintah. Flores Timur dan Flores pada umumnya, masyarakatnya sejak dahulu kala akrab dan terbiasa mengkonsumsi miras lokal yaitu tuak atau arak (bahasa lainnya moke atau ciu). Buntutnya muncul gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, banyak siswa SMA yang bolos sekolah lantaran ingin menenggak minuman alkohol ini, selain itu beberapa kasus kematian di Flores Timur diakibatkan oleh minuman hasil penyulingan dari pohon lontar/enau ini.
            Namun disisi lain, pemerintah merasa kesulitan dalam menegakkan (implementasi) perda ini karena minuman ini sudah menjadi bagian yang in-heren dalam keseharian hidup masyarakat, sudah menjadi budaya atau tradisi dari masyarakat setempat, lebih dari itu banyak keluarga yang menyekolahkan anaknya dari hasil memproduksi atau menjual miras lokal ini.
            Memang ada beberapa minuman alkohol seperti bir, anggur dan sebagainya, namun dalam tulisan ini, penulis membatasi pada arak dan tuak sebagai munuman alkohol produk lokal  yang dalam pengimplementasian perda ini, pemerintah mengalami kesulitan dan tumbulnya pro kontra yang luas di tengah masyarakat, artinya terjadinya keseimbangan antara pro dan kontra. Pro memiliki alasan pun yang kontra juga memiliki alasan.

Miras Lokal
Tuak dan arak sejak dulu menjadi minuman yang dipergunakan oleh sebagian besar masyarakat  Lamaholot (sebutan untuk Flores Timur) dalam berbagai acara. Dalam upacara adat, hampir  semua menyediakan tuak dan arak sebagai pelengkap. Begitu pula pesta-pesta adat. Menanam padi, memanen padi, membuka kebun, mendirikan rumah sampai pesta perkawinan, kematian, penerimaan komuni dan lainnya arak atau tuak menjadi minuman yang wajib disiapkan.
Tuak biasanya disimpan di wadah yang disebut Nawing (semacam gelas panjang yang terbuat dari bambu) dan dijual di pasar atau keliling kampung. Sebelum memakai jerigen kita selalu menjumpai arak yang disimpan di dalam kumba (gentong yang terbuat dari tanah liat). Riangkotek dan Lamahelan di Adonara serta Solor merupakan daerah yang terkenal akan kwalitas araknya yang terbaik.
Meminum arak dahulu kala memakai wadah dasa (tempurung kelapa) atau gelas dari bambu. Setiap kegiatan pesta di Larantuka ibukota Kabupaten Flores Timur, setelah tamu laki-laki selesai makan kita akan menjumpai satu dua pemuda berkeliling dari bangku ke bangku menawarkan arak atau tuak kepada tetamu. Menjamu tamu dengan menyediakan arak yang terbaik menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi yang mempunyai hajatan. Arak menjadi simbol silaturahmi.

Argumentasi Pro Perda
            Timbulnya pro-kontra di tengah masyarakat terhadap perda ini merupakan reaksi atas kebijakan yang menurut dua kubu ini berpegang pada alasan-alasan tertentu yang diyakini benar versi mereka. Bagi yang pro melihat dari perspektif pendidikan, mereka berpendapat bahwa miras lokal turut menyumbang angka putus sekolah, karena banyak siswa SMA kemudian bolos sekolah gara-gara ingin megkonsumsi miras lokal ini. Dengan harga terjangkau dan mudah didapat, miras lokal menjadi minuman primadona di kalangan warga Flores Timur, dus anak-anak SMA bahkan merambah hingga anak SMP maupun SD. Miris memang. Jikalau kondisi seperti ini diapatiskan, maka masa depan anak-anak Flores Timur akan terenggut.
            Selain itu menurut kubu pro, dari perspektif  kesehatan, miras dapat menimbulkan efek yang tidak baik bagi kesehatan. Ada beberapa kasus kematian di Flores Timur, berdasarkan rekam medis menyimpulkan bahwa kematian diakibatkan oleh konsumsi miras yang berlebihan. Selain itu, bila dikonsumsi berlebihan, minuman beralkohol dapat menimbulkan efek samping ganggguan mental organik (GMO), yaitu gangguan dalam fungsi berpikir, merasakan, dan berprilaku. Timbulnya GMO itu disebabkan reaksi langsung alkohol pada sel-sel saraf pusat. Karena sifat adiktif alkohol itu, orang yang meminumnya lama-kelamaan tanpa sadar akan menambah takaran/dosis sampai pada dosis keracunan atau mabuk.
Alasan lain dari pihak yang pro terhadap perda ini adalah gangguan kantibmas yang dilakukan oleh oknum-oknum yang telah mabuk miras. Mereka yang terkena GMO biasanya mengalami perubahan perilaku, seperti misalnya ingin berkelahi atau melakukan tindakan kekerasan lainnya, tidak mampu menilai realitas, terganggu fungsi sosialnya, dan terganggu pekerjaannya. Perubahan fisiologis juga terjadi, seperti cara berjalan yang tidak mantap, muka merah, atau mata juling. Perubahan psikologis yang dialami oleh konsumen misalnya mudah tersinggung, bicara ngawur, atau kehilangan konsentrasi. Srdangkan bagi yang sudah ketagihan biasanya mengalami suatu gejala yang disebut sindrom putus alkohol, yaitu rasa takut diberhentikan minum alkohol. Mereka akan sering gemetar dan jantung berdebar-debar, cemas, gelisah, murung, dan banyak berhalusinasi.

Argumentasi Kontra Perda
            Bagi yang kontra melihatnya dari beberapa perspektif seperti, budaya, dimana melihat bahwa tuak dan arak sudah menjadi budaya yang tentunya tidak bisa dilepas pisahkan dari hidup orang Flores Timur. Pada setiap upacara apapun, tuak dan arak menjadi suguhan utama, dan sebagai manifestasi penghormatan terhadap tamu yang datang. Terlebih pada upacara yang bernuansa adat, tuak dan arak mendapat tempat utama. Selain itu dalam upacara penyambutan tamu, tuak dan arak menjadi suguhan selamat datang bersanding dengan sirih pinang.
            Selain faktor budaya di atas, yang kontra juga memandang bahwa tuak dan arak menjadi salah satu profesi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan yang lebih istimewa adalah membiayai pendidikan anak. Banyak anak-anak NTT yang berhasil menjadi “orang” karena orang tuanya memproduksi dan menjual tuak atau arak.
            Yang kontra juga melihat bahwa proses pembuatan arak dan penyadapan tuak adalah kearifan lokal yang bernilai tinggi, sehingga tidak patut untuk dihilangkan. Di tengah arus besar kemajuan zaman, orang cenderung meninggalkan budaya lokal. Karena itu kearifan lokal yang terdapat dalam segelas tuak dan arak adalah nilai tinggi budaya yang patut dijaga dan dilestarikan.
Ada elemen masyarakat yang kontra terhadap perda ini yaitu  Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) berpendapat bahwa: Peraturan Daerah (Perda) No. 8 Tahun 2011 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol Kabupaten Flores Timur (Flotim) tidak sah secara sosiologis, filosofis dan yuridis. Selain itu, perda ini mengancam menghilangkan identitas budaya lokal bagi orang Flores yang merupakan warisan nenek moyang. Demikian Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus. Dikatakannya, TPDI mendesak agar perda itu dicabut karena selain menghilangkan identitas budaya lokal dan sangat tidak adil karena Perda ini dibuat untuk membatasi dan menghilangkan sementara minuman beralkohol buatan pabrik yang beredar di warung-warung tidak diawasi peredarannya. Hal ini dikatakannya menanggapi adanya aksi penolakan masyarakat Flotim terhadap perda ini. “Pemda dan DPRD Flotim harus segera membatalkan Perda No. 8 Tahun 2011 tersebut karena muatan materinya tidak memenuhi kriteria atau unsur sosiologis, yuridis, filosofis, historis dan politis karenanya bertentangan dengan UUD 1945 dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang lebih tinggi”.

Kesulitan Penegakkan Perda
            Ketika perda ini lahir, ternyata dalam implementasinya pemerintah mengalami dilematis untuk penegakan perda ini. Pada satu sisi hendak menegakkan aturan tapi pada sisi lain ternyata dapat mematikan usaha ekonomi kecil menengah karena yang rata-rata menjual miras lokal ini adalah masyarakat kecil yang menjual miras lokal ini hanya untuk menyambung hidup.
            Selain itu pemerintah sulit dalam menegakkan peraturan daerah ini karena rata-rata pengedar miras lokal ini memiliki usaha berskala kecil sehingga susah untuk terdeteksi. Rata-rata penjual miras lokal ini memiliki stok dalam jumlah kecil sehingga tidak tersedia setiap saat. Selain itu miras lokal ini setelah ditelusuri ternyata dimiliki setiap keluarga di Flores Timur, karena selain sebagai persediaan untuk tamu, namun ada juga yang menyimpan untuk hajatan atau upacara adat.
            Pengedaran miras lokal yang tidak terdeteksi ini membuat pemerintah lemah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian, produksi miras pun tidak dibuat secara besar-besaran karena produksi berskala kecil dan kurang lebih seperempat penduduk Flores Timur mampu menyuling arak dan menyadap air lontar atau enau menjadi tuak. Kemampuan begitu banyak penduduk Flores Timur ini kemudian menjadi sulit dalam melakukan pengawasan terhadap peredarannya.
            Kesulitan lain dalam penegakan perda ini adalah ternyata para penegak perda misalkan jajaran pemerintah daerah (satpol PP) atau pihak keamanan pun mengkonsumsi miras. Misalkan saja PNS yang kedapatan mabuk di kantor atau polisi yang mengkonsumsi miras di pos-pos polisi. Perilaku aparat sipil dan hukum ini tentu tidak memberikan teladan yang baik bagi masyarakat. Sehingga pemerintah seperti ogah-ogahan dalam menertibkan pengedaran miras lokal ini, karena toh mereka juga yang merasa dirugikan jika benar-benar dikendalikan pengedarannya.

Redesain Perda: Pembatasan Konsumen, Sanksi Hukum, Koperasi atau Penyalur
            Setiap program atau kebijakan yang dilahirkan tentu tidak menyenangkan semua pihak dan jelas ada pro kontra mewarnai kebijakan yang telah diketok palu di lembaga wakil rakyat. Pun pula berlaku pada Perda Flores Timur No. 8 Tahun 2011 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol ini. Pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah sepertinya tidak bisa diimplementasikan dengan baik karena alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas.
            Maka untuk lebih mudah dalam pengimplementasian perda ini maka perlu di re-desain dengan harapan bahwa dapat mengakomodir masukan dua kubu, baik pro maupun kontra. Re-desain ini tentunya juga mengambil jalan tengah (win-win solution) sehingga tidak menguntungkan salah satu pihak dan mengorbankan pihak lain. Artinya produsen dan pengedar tuak dan arak tidak dibatasi dalam usaha ekonomi dan pihak yang merasa dirugikan dengan adanya miras lokal ini pun tidak dikecewakan.
            Berkaitan dengan pembatasan konsumen, sepatutnya perlu diatur dalam pasal dari perda ini adalah pembatasan konsumen miras yaitu usia 18 tahun ke atas sesuai ketetapan pemerintah. Pembatasan konsumen ini agar mencegah anak-anak bawah umur untuk mengkonsumsi terkhusus anak-anak usia sekolah dari SD hingga SMA. Nah, disinilah dituntut sosialisasi yang intensif dari pemerintah bagi pengedar atau penjual sehingga tidak boleh menjual miras lokal ini bagi anak-anak usia dibawa 18 tahun. Selain itu sanksinya juga harus diatur dalam perda ini bagi pengedar yang melanggar dengan menjual kepada anak yang belum cukup umur sesuai batasan dalam perda.
            Sanksi hukum yang perlu diatur dalam perda ini juga adalah bagi pemabuk miras. Dengan harga yang terjangkau dan mudah didapat, tuak dan arak ini kemudian jadi minuman primadona dikalangan warga Flores Timur. Dimana-mana dijumpai ada warga yang berkumpul untuk minum minuman alkohol ini. Ada yang di rumah, di pasar, kantor, kapal ikan yang sedang berlabuh, di ladang, di pantai bahkan ada yang ‘nongkrong’ di jalan raya atau gang-gang sambil menenggak miras ini. Akibat kelebihan menenggak miras lokal ini alhasil membuat penikmatnya hilang kesadaran alias mabuk. Amat disayangkan bahwa ada oknum tertentu yang sudah mabuk kemudian membuat keributan, entah berkelahi dengan sesama peminum, memukul orang lain, memalak atau memeras orang yang sedang lewat. Ada yang lebih fatal yakni sampai terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika hal seperti ini dibiarkan tentunya merugikan orang lain dan munculnya kasus kekerasan, karena itu sanksi yang tegas perlu diatur dalam perda, menyangkut denda dan hukuman kurungan bagi pemabuk yang membuat keonaran.
            Untuk menjaga peredaran maka, disarankan bagi pemerintah untuk menentukan penyalur yang sudah terkualifikasi dan diberi ijin menjadi penyalur miras. Dapat pula pemerintah membangun koperasi di desa-desa untuk menjadi wadah penyalur miras lokal ini, agar mudah bagi pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian. Koperasi ini selain untuk memantau peredaran miras juga membantu usaha bagi produsen tuak dan arak untuk ekonomi rumah tangga mereka. Melalui wadah koperasi, produsen miras lokal dapat melakukan kredit untuk membuat usahanya lebih layak dan membantu dalam menyokong pemenuhan kebutuhan akan pangan, sandang dan papan.
            Ada pasal dalam perda ini juga patut dipertimbangkan untuk memasukkan penyalur dan ketentuan-ketentuannya. Artinya, bagi perorangan atau kelompok usaha yang ingin menjadi penyalur seharusnya disertifikasi atau diberi ijin pemerintah untuk menjadi penyalur. Dan penyalur harus diwajibkan untuk mentaati perda yang sudah ditetapkan, seperti pembatasan konsumen dengan melihat usia atau umur dari konsumen. Sertifikasi terhadap penyalur ini juga dilakukan demi menghindari arak atau tuak oplosan. Karena beberapa kasus kematian di Flores Timur juga dikarenakan meminum miras oplosan. Hal ini yang perlu dijaga oleh semua elemen masyarakat, tidak hanya pemerintah saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar