TINGGINYA INFLASI DI DAERAH-DAERAH DI LUAR JAWA
(Analisis Wacana Program Tol Laut Pasangan Jokowi-JK
untuk Membangun Jaringan Distribusi Ekonomi)
I.
PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa kesenjangan ekonomi
antara jawa dan luar jawa begitu mencengangkan. Hal ini dilihat dari tingkat
inflasi daerah. Harga-harga barang antara jawa dengan luar jawa juga terdapat
perbedaan yang begitu signifikaan. Lebih-lebih di bagian paling timur Indonesia
yakni Papua.
Perbedaan tingkat inflasi di daerah ini diakibatkan
oleh terhambatnya jalur distribusi dari dan ke daerah-daerah di Indonesia.
Selain itu keterbatasan logistik menjadi salah satu faktor tingginya inflasi di
daerah-daerah di luar jawa. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mewabahnya
barang-barang impor di Indonesia. Lantas, produk lokal akhirnya terabaikan dan
kalah bersaing dengan produk luar.
Realitas menunjukkan bahwa lebih efisien mengimpor
barang dari negara lain ketimbang mendatangkan barang dari Sumatera ke Jawa
atau dari Kalimantan ke Papua dan sebagainya, lantaran biaya distribusi dari
luar negeri jauh lebih murah ketimbang biaya distribusi di dalam negeri
sendiri. Seperti contoh harga jeruk soe yang didatangkan dari NTT ke Jawa
dengan Rp. 1000,00/2 buah lebih mahal daripada harga jeruk australia Rp.
1000,00/5 buah. Hal-hal yang seperti sudah diutarakan di atas menyebabkan
keragaman inflasi antara daerah-daerah di Indonesia.
Keragaman inflasi ini kemudian memiliki dampak
ikutan adalah tidak bertumbuhnya ekonomi dengan baik. Sehingga disparitas
ekonomi antara indonesia bagian barat dengan indonesia bagian timur terasa
menjadi ganjalan dalam mengejar ketertinggalan pembangunan. Untuk mengatasi hal
ini diperlukan kabijakan dan langkah strategis. Tingginya inflasi membuat
produk lokal tidak bisa berkembang atau bertumbuh karena kalah bersaing dengan
produk luar negeri yang terus membanjiri pasar dalam negeri.
Di
bawah ini disajikan tingkatan inflasi per ibukota provinsi di Indonesia. Data
ini merupakan adaptasi dari data BPS.
Tabel
1 Inflasi daerah per ibukota provinsi 2009-2013
No.
|
Nama Kota
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
1
|
Banda Aceh
|
3.50
|
4.64
|
3.32
|
0.06
|
6.39
|
2
|
Medan
|
1.59
|
7.65
|
3.54
|
3.79
|
10.09
|
3
|
Padang
|
2.05
|
7.84
|
5.37
|
4.16
|
10.87
|
4
|
Pekanbaru
|
1.94
|
7.00
|
5.09
|
3.35
|
8.83
|
5
|
Jambi
|
1.85
|
10.52
|
2.76
|
4.22
|
8.74
|
6
|
Palembang
|
2.88
|
6.02
|
3.78
|
2.72
|
7.04
|
7
|
Bengkulu
|
4.18
|
9.08
|
3.96
|
4.61
|
9.94
|
8
|
Bandar Lampung
|
2.17
|
9.95
|
4.24
|
4.30
|
7.56
|
9
|
Pangkal Pinang
|
1.88
|
9.36
|
5.00
|
6.57
|
8.71
|
10
|
Tanjung Pinang
|
1.43
|
6.17
|
3.32
|
3.92
|
10.09
|
11
|
Jakarta
|
2.34
|
6.21
|
3.97
|
4.52
|
8.00
|
12
|
Bandung
|
2.11
|
4.53
|
2.75
|
4.02
|
7.97
|
13
|
Semarang
|
5.83
|
7.11
|
2.87
|
4.85
|
8.19
|
14
|
Yogyakarta
|
3.60
|
7.38
|
3.88
|
4.31
|
7.32
|
15
|
Surabaya
|
3.39
|
7.33
|
4.72
|
4.39
|
7.52
|
16
|
Serang
|
4.11
|
6.18
|
2.78
|
4.41
|
9.16
|
17
|
Denpasar
|
4.37
|
8.10
|
3.75
|
4.71
|
7.35
|
18
|
Mataram
|
3.14
|
11.07
|
6.38
|
4.10
|
9.27
|
19
|
Kupang
|
6.49
|
9.97
|
4.32
|
5.10
|
8.84
|
20
|
Pontianak
|
4.91
|
8.52
|
4.91
|
6.62
|
9.48
|
21
|
Palangkaraya
|
2.85
|
9.49
|
5.28
|
6.73
|
6.45
|
22
|
Banjarmasin
|
3.86
|
9.06
|
3.98
|
5.96
|
6.98
|
23
|
Samarinda
|
3.60
|
7.00
|
6.23
|
4.81
|
10.37
|
24
|
Manado
|
2.31
|
6.28
|
0.67
|
6.04
|
8.12
|
25
|
Palu
|
5.73
|
6.40
|
4.47
|
5.87
|
7.57
|
26
|
Makasar
|
3.24
|
6.82
|
2.87
|
4.57
|
6.24
|
27
|
Kendari
|
4.60
|
3.87
|
5.09
|
5.25
|
5.92
|
28
|
Gorontalo
|
4.35
|
7.43
|
4.08
|
5.31
|
5.84
|
29
|
Mamuju
|
1.78
|
5.12
|
4.91
|
3.28
|
5.91
|
30
|
Ambon
|
6.48
|
8,78
|
2.85
|
6.73
|
8.81
|
31
|
Ternate
|
3.88
|
5.32
|
4.52
|
3.29
|
9.78
|
32
|
Manokwari
|
7.52
|
4.68
|
3.64
|
4.88
|
4.63
|
33
|
Jayapura
|
1.92
|
4.48
|
3.40
|
4.52
|
8.27
|
Sumber: Data BPS, 2014
Dari data yang tersaji di atas terlihat bahwa keragaman
inflasi terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Inflasinya pun fluktuatif.
Misalkan ada daerah pada tahun tertentu begitu rendah namun ada tahun lain yang
melonjak begitu tinggi. Atau juga sebaliknya, tahun sebelumnya tinggi namun
sesudahnya menurun. Ada juga daerah yang inflasinya begitu stabil, walapun
naik, tetapi tidak terlalu signifikan, atau turun pun tidak begitu jauh. Selain
itu, jika dibandingkan antara Jawa dengan luar Jawa terdapat perbedaan tingkat
inflasi, dimana inflasi di Jawa begitu rendah jika dibandingkan dengan inflasi
di daerah-daerah di luar Jawa
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan
permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan
(tekanan) produksi dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga
termasuk kurangnya distribusi). Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari
peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab
kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam
hal ini dipegang oleh pemerintah (government)
seperti fiskal (perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan
pembangunan infrastruktur, regulasi, dll. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat
adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh
membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan
memicu perubahan pada tingkat harga.
Mengacu pada sebab kedua di atas maka dapat dikatakan bahwa
untuk Indonesia peran negara dalam hal ini kebijakan untuk mengatur distribusi
barang masih diabaikan oleh pemerintah. Selain itu infrastruktur sebagai
pendukung distribusi juga menjadi salah satu faktor keragaman inflasi di
Indonesia. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan
ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang
sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro menurut
Kwik Kian Gie (dalam Haris: 2012),
ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital,
sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan
infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. Studi dari World
Bank (1994) menyebutkan bahwa elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap
infrastruktur di suatu negara adalah antara 0,07 sampai dengan 0,44. Hal ini
berarti dengan kenaikan 1 (satu) persen saja ketersediaan infrastruktur akan
menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 7% sampai dengan 44%.
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung
parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai
pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu
meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja,
menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah,
yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan
perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak
bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena
harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai
negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan
mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk
dari waktu ke waktu.
Melihat begitu besar dampak distribusi terhadap inflasi, dan
dampak inflasi terhadap pertumbuhan
ekonomi maka diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengatur perihal distribusi.
Dalam hal ini ketersediaan logistik dan infrastruktur yang memadai bagi
kelancaran distribusi. Untuk itu salah satu program yang diwacanakan oleh
capres Joko Widodo adalah pembangunan tol laut yang menghubungkan pulau-pulau
di Indonesia. Konsep tol laut yang digagas Jokowi bukan berarti jalan beraspal
di atas laut melainkan ketersediaan kapal-kapal berukuran besar yang berlayar
setiap saat mengelilingi wilayah perairan nusantara. Selain itu membangun
infrastruktur pelabuhan yang memadai untuk memperlancar arus distribusi barang
dari dan ke luar daerah.
II.
MASALAH
KEBIJAKAN
Berdasarkan
uraian yang dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan situasi permasalahan yang
dihadapi yaitu: terjadinya keragaman inflasi antar daerah-daerah di Indonesia
karena keterbatasan logistik yang mengakibatkan perbedaan harga barang di jawa
dengan luar jawa.
2.1.
Meta problem
Adapun
yang menjadi meta problem dalam wacana kebijakan ini adalah:
o Keragaman inflasi pada daerah-daerah di Indonesia
o Tingginya inflasi atau perbedaan harga barang di
Jawa dengan luar Jawa
o Tingginya barang-barang impor yang membanjiri
Indonesia yang berbuntut pada matinya produk lokal
o Keterbatasan logistik yang menghambat distribusi
barang dari dan ke luar daerah
2.2.
Problem
substantif
Yang
menjadi problem substantif dalam wacana kebijakan ini adalah ketiadaan logistik
dalam membangun jaringan distribusi ekonomi.
2.3.
Formal problem
Berdasarkan
substantif problem di atas maka yang menjadi formal problem dalam isu kebijakan
ini adalah: tingginya inflasi di daerah-daerah luar Jawa karena keterbatasan
logistik.
Untuk menjawab permasalahan tersebut maka tujuan
dari rekomendasi kebijakan ini adalah mendukung kebijakan Jokowi-JK untuk
menjalankan program tol laut demi menekan inflasi,meningkatkan produktivitas
dan menumbuhkan efisiensi.
III.
ALTERNATIF
KEBIJAKAN
Dalam memilih alternatif kebijakan metode yang digunakan
adalah Metode Status Quo (No Action) dan
Metode Perbandingan dengan Pengalaman Nyata.
3.1.
Alternatif
status quo
Alternatif
ini merupakan memperthankan kebijakan yang selama ini dilakukan pemerintah untuk
menekan inflasi atau melonjaknya harga barang adalah dengan melakukan operasi
pasar. Operasi pasar ini biasanya dijalankan oleh bulog atau kementrian
perdagangan. Namun kebijakan ini justru hanya untuk mengatasi persoalan inflasi
hanya sesaat. Dan biasa dilakukan menjelang hari raya atau hari besar keagamaan
yang biasa menimbulkan lonjakan harga barang di pasaran.
3.2.
Alternatif
pertama
Kebijakan
yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi biaya retribusi dan pajak,
sehingga tidak mempengaruhi harga jual. Namun kebijakan ini berpotensi minimnya
pemasukan kas negara/daerah.
3.3.
Alternatif kedua
Selama
ini yang terjadi adalah keterbatasan logistik dalam mendistribusi barang
sehingga menyebabkan instabilitas inflasi antar daerah. Untuk itu alternatif
kebijakan yang ditawarkan adalah dengan menyediakan logistik sebagai jaring
distribusi ekonomi.
Untuk
selengkapnya dapat di lihat pada tabel di bawah ini:
Tabel
2 Alternatif kebijakan
Tujuan
|
Kriteria
|
Alternatif kebijakan
|
||
Alternatif 1 (Status quo) Operasi pasar
|
Alternatif 2 mengurangi
retribusi/pajak
|
Alternatif 3 membangun logistik
|
||
Mengatasi
tingginya inflasi luar Jawa
|
Ketersediaan logistik
|
Inflasi hanya ditekan sesaat
|
Minimnya pendapatan kas daerah
|
Memperlancar arus distribusi barang
|
Ketersediaan infrastruktur
|
Pembangunan menitikberatkan di darat
|
Swasta meguasai perdagangan
|
Membangun pelabuhan peti kemas
|
|
Sumber dana
|
APBN
|
DAU & DAK diperbesar
|
APBN
|
|
Resiko politik
|
Penyimpangan
|
Minimya dukungan daerah
|
Dukungan pusat
|
IV.
ALTERNATIF TERPILIH
ATAU TINDAKAN KEBIJAKAN
Metode yang digunakan untuk
melakukan proses seleksi kebijakan ini adalah Metode Analytical
Hierarchy Process (AHP), yang terdiri dari beberapa langkah, (1) merumuskan
hierarki kebijakan dengan memilih atau mendekomposisikan unsur-unsur pokok
masalah kebijakan; (2) melakukan perbandingan berpasangan terhadap alternatif
kebijakan dan kriteria penilaian; (3) menggunakan metode nilai Eigen untuk
menentukan pengaruh relatif tiap kriteria dan alternative kebijakan dalam
pencapaian kebijakan; (4) mengagresasikan nilai setiap alternatif kebijakan
dengan bobot kriteria. Nilai agregat menjadi dasar penetapan alternatif
terbaik.
Penilaian yang digunakan dalam
metode ini menggunakan pengkategorian 1-4, dimana: 1=kurang baik; 2=sedikit baik; 3=baik; 4=baik sekali.
4.1.
Penilaian
alternatif tanpa pembobotan
Tabel
3 Penilaian alternatif tanpa pembobotan (Langkah 1)
Tujuan
|
Kriteria
|
Alternatif kebijakan
|
Ʃ
|
||
Alternatif 1 (Status quo) Operasi pasar
|
Alternatif 2 menjaga ketersediaan
pasokan kebutuhan
|
Alternatif 3 membangun logistik
|
|||
Mengatasi
tingginya inflasi luar Jawa
|
Ketersediaan logistik
|
3
|
2
|
4
|
9
|
Ketersediaan infrastruktur
|
2
|
1
|
3
|
7
|
|
Sumber dana
|
3
|
2
|
3
|
8
|
|
Resiko politik
|
1
|
2
|
3
|
6
|
Tabel
4 Penilaian alternatif tanpa pembobotan (Langkah 2)
Tujuan
|
Kriteria
|
Alternatif kebijakan
|
||
Alternatif 1 (Status quo) Operasi
pasar
|
Alternatif 2 menjaga ketersediaan
pasokan kebutuhan
|
Alternatif 3 membangun logistik
|
||
Mengatasi
tingginya inflasi luar Jawa
|
Ketersediaan logistik
|
0,33
|
0,22
|
0,44
|
Ketersediaan infrastruktur
|
0,33
|
0,16
|
0,5
|
|
Sumber dana
|
0,375
|
0,25
|
0,375
|
|
Resiko politik
|
0,16
|
0,33
|
0,5
|
|
Jumlah nilai
|
1,195
|
0,96
|
1,815
|
Tanpa
menggunakan pembobotan dari perhitungan memperlihatkan bahwa alternatif ketiga
mendapatkan nilai tertinggi yaitu 1,815, kemudian diikuti oleh alternatif
pertama. Selanjutnya akan digunakan pembobotan dengan menggunakan metode saaty.
4.2.
Penerapan skala
interval saaty
Tabel
5 Penerapan skala interval saaty (Langkah 1)
Kriteria
|
k-1
|
k-2
|
k-3
|
k-4
|
Ʃ
|
Bobot
|
K1
|
1
|
2
|
1/3
|
1/3
|
3,66
|
0,11596
|
K2
|
½
|
1
|
5
|
1/5
|
6,7
|
0,21229
|
K3
|
3
|
3
|
1
|
5
|
12
|
0,38022
|
K4
|
3
|
5
|
1/5
|
1
|
9,2
|
0,29150
|
Ʃ
|
31,56
|
|
Tabel
6 Penerapan skala interval saaty (Langkah 2)
KRITERIA
|
PEMBOBOTAN
|
ALTERNATIF KEBIJAKAN
|
||
Status quo
|
Alternatif 1
|
Alternatif 2
|
||
|
0,11596
|
0,34788
|
0,23192
|
0,46384
|
|
0,21229
|
0,42458
|
0,21229
|
0,63687
|
|
0,38022
|
1,14066
|
0,76044
|
1,14066
|
|
0,29150
|
0,29150
|
0,583
|
0,8745
|
Weighted totals
|
2,20462
|
1,78765
|
3,11587
|
Berdasarkan
perhitungan dengan menggunakan skala interval saaty, kembali diperoleh bahwa
alternatif ketiga mendapatkan nilai tertinggi dari dua alternatif lain. Dengan
demikian menjadi jelas bahwa alternatif kebijakan yang dipilih dalam mengatasi
tinginya inflasi di luar jawa adalah membangun atau menyediakan logistik bagi
arus distribusi ekonomi. Alternatif ini diyakini mampu menekan inflasi, mengatasi
perbedaan harga barang antara jawa dengan luar jawa, meningkatkan produktivitas
masyarakat dan efisiensi anggaran.
V.
RENCANA
IMPLEMENTASI
Untuk merealisasikan ide besar ini maka perlu
ditentukan titik-titik pelabuhan untuk disinggahi kapal bertonase besar. Titik-titik
pelabuhan perlu dicermati aksesibilitas dan infrastrukturnya agar distribusi
barang dapat berjalan lancar, tidak tersendat atau mengalami gangguan. Namun
alangkah baiknya setiap pelabuhan di masing-masing daerah atau kota diusahakan
untuk disinggahi agar pendistribusian benar-benar merata. Setiap daerah/kota
yang disinggahi tidak hanya menurunkan barang tetapi juga mengangkut barang
atau hasil produksi lokal untuk didistribusikan ke daerah lain.
Yang perlu dipikirkan pula adalah subsidi pemerintah
terhadap alat angkutan ini, karena kapal-kapal harus beroperasi setiap saat
sehingga kemungkinan untuk biaya operasional sangat besar. Karena itu sumber
dana pun harus dipikirkan agar program ini kemudian tidak hanya sekedar lip service. Salah satunya jalan yang
perlu ditempu adalah menggenjot pemasukan bagi kas negara agar dapat digunakan
sebagai untuk mensubsidi logistik ini.
Harus
diakui bahwa program ini cocok dengan kondisi geografis Indonesia yang adalah
negara maritim. Selama ini pembangunan pemerintah hanya berfokus di darat
sedangkan di laut terabaikan. Padahal untuk membangun indonesia, laut harus
dijadikan pemersatu untuk menjangkau pulau-pulau, meretas ketertinggalan dan
merintis pembangunan hingga pelosok-pelosok nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar