Argue

Senin, 10 November 2014

TINGGINYA INFLASI DI DAERAH-DAERAH DI LUAR JAWA

TINGGINYA INFLASI DI DAERAH-DAERAH DI LUAR JAWA
(Analisis Wacana Program Tol Laut Pasangan Jokowi-JK untuk Membangun Jaringan Distribusi Ekonomi)


I.         PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa kesenjangan ekonomi antara jawa dan luar jawa begitu mencengangkan. Hal ini dilihat dari tingkat inflasi daerah. Harga-harga barang antara jawa dengan luar jawa juga terdapat perbedaan yang begitu signifikaan. Lebih-lebih di bagian paling timur Indonesia yakni Papua.
Perbedaan tingkat inflasi di daerah ini diakibatkan oleh terhambatnya jalur distribusi dari dan ke daerah-daerah di Indonesia. Selain itu keterbatasan logistik menjadi salah satu faktor tingginya inflasi di daerah-daerah di luar jawa. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab mewabahnya barang-barang impor di Indonesia. Lantas, produk lokal akhirnya terabaikan dan kalah bersaing dengan produk luar.
Realitas menunjukkan bahwa lebih efisien mengimpor barang dari negara lain ketimbang mendatangkan barang dari Sumatera ke Jawa atau dari Kalimantan ke Papua dan sebagainya, lantaran biaya distribusi dari luar negeri jauh lebih murah ketimbang biaya distribusi di dalam negeri sendiri. Seperti contoh harga jeruk soe yang didatangkan dari NTT ke Jawa dengan Rp. 1000,00/2 buah lebih mahal daripada harga jeruk australia Rp. 1000,00/5 buah. Hal-hal yang seperti sudah diutarakan di atas menyebabkan keragaman inflasi antara daerah-daerah di Indonesia.
Keragaman inflasi ini kemudian memiliki dampak ikutan adalah tidak bertumbuhnya ekonomi dengan baik. Sehingga disparitas ekonomi antara indonesia bagian barat dengan indonesia bagian timur terasa menjadi ganjalan dalam mengejar ketertinggalan pembangunan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan kabijakan dan langkah strategis. Tingginya inflasi membuat produk lokal tidak bisa berkembang atau bertumbuh karena kalah bersaing dengan produk luar negeri yang terus membanjiri pasar dalam negeri.
Di bawah ini disajikan tingkatan inflasi per ibukota provinsi di Indonesia. Data ini merupakan adaptasi dari data BPS.

Tabel 1 Inflasi daerah per ibukota provinsi 2009-2013
No.
Nama Kota
2009
2010
2011
2012
2013
1
Banda Aceh
3.50
4.64
3.32
0.06
6.39
2
Medan
1.59
7.65
3.54
3.79
10.09
3
Padang
2.05
7.84
5.37
4.16
10.87
4
Pekanbaru
1.94
7.00
5.09
3.35
8.83
5
Jambi
1.85
10.52
2.76
4.22
8.74
6
Palembang
2.88
6.02
3.78
2.72
7.04
7
Bengkulu
4.18
9.08
3.96
4.61
9.94
8
Bandar Lampung
2.17
9.95
4.24
4.30
7.56
9
Pangkal Pinang
1.88
9.36
5.00
6.57
8.71
10
Tanjung Pinang
1.43
6.17
3.32
3.92
10.09
11
Jakarta
2.34
6.21
3.97
4.52
8.00
12
Bandung
2.11
4.53
2.75
4.02
7.97
13
Semarang
5.83
7.11
2.87
4.85
8.19
14
Yogyakarta
3.60
7.38
3.88
4.31
7.32
15
Surabaya
3.39
7.33
4.72
4.39
7.52
16
Serang
4.11
6.18
2.78
4.41
9.16
17
Denpasar
4.37
8.10
3.75
4.71
7.35
18
Mataram
3.14
11.07
6.38
4.10
9.27
19
Kupang
6.49
9.97
4.32
5.10
8.84
20
Pontianak
4.91
8.52
4.91
6.62
9.48
21
Palangkaraya
2.85
9.49
5.28
6.73
6.45
22
Banjarmasin
3.86
9.06
3.98
5.96
6.98
23
Samarinda
3.60
7.00
6.23
4.81
10.37
24
Manado
2.31
6.28
0.67
6.04
8.12
25
Palu
5.73
6.40
4.47
5.87
7.57
26
Makasar
3.24
6.82
2.87
4.57
6.24
27
Kendari
4.60
3.87
5.09
5.25
5.92
28
Gorontalo
4.35
7.43
4.08
5.31
5.84
29
Mamuju
1.78
5.12
4.91
3.28
5.91
30
Ambon
6.48
8,78
2.85
6.73
8.81
31
Ternate
3.88
5.32
4.52
3.29
9.78
32
Manokwari
7.52
4.68
3.64
4.88
4.63
33
Jayapura
1.92
4.48
3.40
4.52
8.27
Sumber: Data BPS, 2014
Dari data yang tersaji di atas terlihat bahwa keragaman inflasi terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Inflasinya pun fluktuatif. Misalkan ada daerah pada tahun tertentu begitu rendah namun ada tahun lain yang melonjak begitu tinggi. Atau juga sebaliknya, tahun sebelumnya tinggi namun sesudahnya menurun. Ada juga daerah yang inflasinya begitu stabil, walapun naik, tetapi tidak terlalu signifikan, atau turun pun tidak begitu jauh. Selain itu, jika dibandingkan antara Jawa dengan luar Jawa terdapat perbedaan tingkat inflasi, dimana inflasi di Jawa begitu rendah jika dibandingkan dengan inflasi di daerah-daerah di luar Jawa
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan (tekanan) produksi dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga termasuk kurangnya distribusi). Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh pemerintah (government) seperti fiskal (perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan infrastruktur, regulasi, dll. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga.
Mengacu pada sebab kedua di atas maka dapat dikatakan bahwa untuk Indonesia peran negara dalam hal ini kebijakan untuk mengatur distribusi barang masih diabaikan oleh pemerintah. Selain itu infrastruktur sebagai pendukung distribusi juga menjadi salah satu faktor keragaman inflasi di Indonesia. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro menurut Kwik Kian Gie (dalam Haris: 2012),  ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. Studi dari World Bank (1994) menyebutkan bahwa elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap infrastruktur di suatu negara adalah antara 0,07 sampai dengan 0,44. Hal ini berarti dengan kenaikan 1 (satu) persen saja ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 7% sampai dengan 44%.
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Melihat begitu besar dampak distribusi terhadap inflasi, dan dampak inflasi  terhadap pertumbuhan ekonomi maka diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengatur perihal distribusi. Dalam hal ini ketersediaan logistik dan infrastruktur yang memadai bagi kelancaran distribusi. Untuk itu salah satu program yang diwacanakan oleh capres Joko Widodo adalah pembangunan tol laut yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia. Konsep tol laut yang digagas Jokowi bukan berarti jalan beraspal di atas laut melainkan ketersediaan kapal-kapal berukuran besar yang berlayar setiap saat mengelilingi wilayah perairan nusantara. Selain itu membangun infrastruktur pelabuhan yang memadai untuk memperlancar arus distribusi barang dari dan ke luar daerah.

II.      MASALAH KEBIJAKAN
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan situasi permasalahan yang dihadapi yaitu: terjadinya keragaman inflasi antar daerah-daerah di Indonesia karena keterbatasan logistik yang mengakibatkan perbedaan harga barang di jawa dengan luar jawa.
2.1.   Meta problem
Adapun yang menjadi meta problem dalam wacana kebijakan ini adalah:
o  Keragaman inflasi pada daerah-daerah di Indonesia
o  Tingginya inflasi atau perbedaan harga barang di Jawa dengan luar Jawa
o  Tingginya barang-barang impor yang membanjiri Indonesia yang berbuntut pada matinya produk lokal
o  Keterbatasan logistik yang menghambat distribusi barang dari dan ke luar daerah
2.2.   Problem substantif
Yang menjadi problem substantif dalam wacana kebijakan ini adalah ketiadaan logistik dalam membangun jaringan distribusi ekonomi.
2.3.   Formal problem
Berdasarkan substantif problem di atas maka yang menjadi formal problem dalam isu kebijakan ini adalah: tingginya inflasi di daerah-daerah luar Jawa karena keterbatasan logistik.
Untuk menjawab permasalahan tersebut maka tujuan dari rekomendasi kebijakan ini adalah mendukung kebijakan Jokowi-JK untuk menjalankan program tol laut demi menekan inflasi,meningkatkan produktivitas dan menumbuhkan efisiensi.

III.   ALTERNATIF KEBIJAKAN
Dalam memilih alternatif kebijakan metode yang digunakan adalah Metode Status Quo (No Action) dan Metode Perbandingan dengan Pengalaman Nyata.
3.1.   Alternatif status quo
Alternatif ini merupakan memperthankan kebijakan yang selama ini dilakukan pemerintah untuk menekan inflasi atau melonjaknya harga barang adalah dengan melakukan operasi pasar. Operasi pasar ini biasanya dijalankan oleh bulog atau kementrian perdagangan. Namun kebijakan ini justru hanya untuk mengatasi persoalan inflasi hanya sesaat. Dan biasa dilakukan menjelang hari raya atau hari besar keagamaan yang biasa menimbulkan lonjakan harga barang di pasaran.
3.2.   Alternatif pertama
Kebijakan yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi biaya retribusi dan pajak, sehingga tidak mempengaruhi harga jual. Namun kebijakan ini berpotensi minimnya pemasukan kas negara/daerah.
3.3.   Alternatif kedua
Selama ini yang terjadi adalah keterbatasan logistik dalam mendistribusi barang sehingga menyebabkan instabilitas inflasi antar daerah. Untuk itu alternatif kebijakan yang ditawarkan adalah dengan menyediakan logistik sebagai jaring distribusi ekonomi.
Untuk selengkapnya dapat di lihat pada tabel di bawah ini:









            Tabel 2 Alternatif kebijakan
Tujuan
Kriteria
Alternatif kebijakan
Alternatif 1 (Status quo) Operasi pasar
Alternatif 2 mengurangi retribusi/pajak
Alternatif 3 membangun logistik
Mengatasi tingginya inflasi luar Jawa
Ketersediaan logistik
Inflasi hanya ditekan sesaat
Minimnya pendapatan kas daerah
Memperlancar arus distribusi barang
Ketersediaan infrastruktur
Pembangunan menitikberatkan di darat
Swasta meguasai perdagangan
Membangun pelabuhan peti kemas
Sumber dana
APBN
DAU & DAK diperbesar
APBN
Resiko politik
Penyimpangan
Minimya dukungan daerah
Dukungan pusat


IV.   ALTERNATIF TERPILIH ATAU TINDAKAN KEBIJAKAN
Metode yang digunakan untuk melakukan proses seleksi kebijakan ini adalah Metode  Analytical Hierarchy Process (AHP), yang terdiri dari beberapa langkah, (1) merumuskan hierarki kebijakan dengan memilih atau mendekomposisikan unsur-unsur pokok masalah kebijakan; (2) melakukan perbandingan berpasangan terhadap alternatif kebijakan dan kriteria penilaian; (3) menggunakan metode nilai Eigen untuk menentukan pengaruh relatif tiap kriteria dan alternative kebijakan dalam pencapaian kebijakan; (4) mengagresasikan nilai setiap alternatif kebijakan dengan bobot kriteria. Nilai agregat menjadi dasar penetapan alternatif terbaik.
Penilaian yang digunakan dalam metode ini menggunakan pengkategorian 1-4, dimana: 1=kurang baik; 2=sedikit baik; 3=baik; 4=baik sekali.



4.1.   Penilaian alternatif tanpa pembobotan

Tabel 3 Penilaian alternatif tanpa pembobotan (Langkah 1)
Tujuan
Kriteria
Alternatif kebijakan
Ʃ
Alternatif 1 (Status quo) Operasi pasar
Alternatif 2 menjaga ketersediaan pasokan kebutuhan
Alternatif 3 membangun logistik
Mengatasi tingginya inflasi luar Jawa
Ketersediaan logistik
3
2
4
9
Ketersediaan infrastruktur
2
1
3
7
Sumber dana
3
2
3
8
Resiko politik
1
2
3
6

Tabel 4 Penilaian alternatif tanpa pembobotan (Langkah 2)
Tujuan
Kriteria
Alternatif kebijakan
Alternatif 1 (Status quo) Operasi pasar
Alternatif 2 menjaga ketersediaan pasokan kebutuhan
Alternatif 3 membangun logistik
Mengatasi tingginya inflasi luar Jawa
Ketersediaan logistik
0,33
0,22
0,44
Ketersediaan infrastruktur
0,33
0,16
0,5
Sumber dana
0,375
0,25
0,375
Resiko politik
0,16
0,33
0,5
Jumlah nilai
1,195
0,96
1,815

Tanpa menggunakan pembobotan dari perhitungan memperlihatkan bahwa alternatif ketiga mendapatkan nilai tertinggi yaitu 1,815, kemudian diikuti oleh alternatif pertama. Selanjutnya akan digunakan pembobotan dengan menggunakan metode saaty.

4.2.   Penerapan skala interval saaty

Tabel 5 Penerapan skala interval saaty (Langkah 1)
Kriteria
k-1
k-2
k-3
k-4
Ʃ
Bobot
K1
1
2
1/3
1/3
3,66
0,11596
K2
½
1
5
1/5
6,7
0,21229
K3
3
3
1
5
12
0,38022
K4
3
5
1/5
1
9,2
0,29150
Ʃ
31,56


Tabel 6 Penerapan skala interval saaty (Langkah 2)
KRITERIA
PEMBOBOTAN
ALTERNATIF KEBIJAKAN
Status quo
Alternatif 1
Alternatif 2

0,11596
0,34788
0,23192
0,46384

0,21229
0,42458
0,21229
0,63687

0,38022
1,14066
0,76044
1,14066

0,29150
0,29150
0,583
0,8745
Weighted totals
2,20462
1,78765
3,11587

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan skala interval saaty, kembali diperoleh bahwa alternatif ketiga mendapatkan nilai tertinggi dari dua alternatif lain. Dengan demikian menjadi jelas bahwa alternatif kebijakan yang dipilih dalam mengatasi tinginya inflasi di luar jawa adalah membangun atau menyediakan logistik bagi arus distribusi ekonomi. Alternatif ini diyakini mampu menekan inflasi, mengatasi perbedaan harga barang antara jawa dengan luar jawa, meningkatkan produktivitas masyarakat dan efisiensi anggaran.

V.      RENCANA IMPLEMENTASI
Untuk merealisasikan ide besar ini maka perlu ditentukan titik-titik pelabuhan untuk disinggahi kapal bertonase besar. Titik-titik pelabuhan perlu dicermati aksesibilitas dan infrastrukturnya agar distribusi barang dapat berjalan lancar, tidak tersendat atau mengalami gangguan. Namun alangkah baiknya setiap pelabuhan di masing-masing daerah atau kota diusahakan untuk disinggahi agar pendistribusian benar-benar merata. Setiap daerah/kota yang disinggahi tidak hanya menurunkan barang tetapi juga mengangkut barang atau hasil produksi lokal untuk didistribusikan ke daerah lain.
Yang perlu dipikirkan pula adalah subsidi pemerintah terhadap alat angkutan ini, karena kapal-kapal harus beroperasi setiap saat sehingga kemungkinan untuk biaya operasional sangat besar. Karena itu sumber dana pun harus dipikirkan agar program ini kemudian tidak hanya sekedar lip service. Salah satunya jalan yang perlu ditempu adalah menggenjot pemasukan bagi kas negara agar dapat digunakan sebagai untuk mensubsidi logistik ini.

Harus diakui bahwa program ini cocok dengan kondisi geografis Indonesia yang adalah negara maritim. Selama ini pembangunan pemerintah hanya berfokus di darat sedangkan di laut terabaikan. Padahal untuk membangun indonesia, laut harus dijadikan pemersatu untuk menjangkau pulau-pulau, meretas ketertinggalan dan merintis pembangunan hingga pelosok-pelosok nusantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar