Argue

Rabu, 12 November 2014

EVALUASI PENGGUNAAN KARCIS IDENTITAS KENDARAAN DALAM LINGKUNGAN KAMPUS UNIVERSITAS GADJAH MADA

I.    Pendahuluan
1.1.    Latar belakang
Salah satu upaya yang dilakukan oleh UGM untuk mewujudkan visi pengembangan dan pengelolaan kampus educopolis adalah dengan mengendalikan arus lalu lintas kendaraan bermotor di kawasan UGM. Pola ini diharapkan mampu mengurangi akses bagi publik yang tidak berkepentingan dengan universitas. Hal ini diperlukan untuk menjaga ketenangan proses pembelajaran dan menekan potensi kecelakaan lalu lintas, polusi udara, polusi suara, dan pelanggaran hukum di kawasan kampus.
Dalam rangka itu maka dibangun portal-portal jaga, dan semua kendaraan bermotor yang memasuki lingkungan kampus diwajibkan mengantongi Karcis Identitas Kendaraan. Semulanya, pembatasan jumlah kendaraan dan pengurangan akses bagi yang tidak berkepentingan ini menggunakan sistem KIK (Kartu Identitas Kendaraan), dimana setiap civitas akademika diwajibkan memiliki kartu tersebut, sedangkan yang tidak memiliki KIK dikenakan sistem disisentif artinya pengendara yang tidak memiliki KIK dipungut uang sebesar Rp. 100,00 untuk kendaraan roda dua dan Rp. 2000,00 bagi kendaraan roda empat. Penggunaan KIK ini menurut Kepala SKK UGM, Noorhadi Rahardjo, bertujuan untuk: (1) pelayanan parkir di kawasan UGM; (2) pembatasan akses kendaraan yang tidak berkepentingan dengan UGM; (3) pengawasan keamanan kendaraan bermotor warga kampus dari tindak pencurian; (4) mengendalikan jumlah kendaraan bermotor (khususnya mobil) yang parkir di lokasi-lokasi padat kendaraan parkir. Pada intinya menurut Noorhadi, penggunaan karcis ini selain dimaksudkan untuk mengurangi arus pemakaian kendaraan bermotor namun lebih dari itu adalah mengutamakan pejalan kaki serta pengguna sepeda.
Namun dalam perjalanan, pemberlakuan KIK pada Januari 2010 tersebut diprotes oleh mahasiswa dan juga masyarakat umum. Bagi yang kontra, pola disisentif tersebut menurut mereka telah mengangkangi spirit UGM sebagai kampus kerakyatan. Mahasiswa berpendapat bahwa tidak patut UGM menerapkan sistem disisentif, karena mereka telah menunaikan kewajiban dengan pembayaran uang kuliah sehingga pungutan lain diluar itu adalah ketidakwajaran. Somasi akhirnya dilayang ke ombudsman dalam mempersoalkan pola disisentif yang diterapkan lembaga. Ombudsman kemudian memenangkan mahasiswa.
Atas terkabulnya somasi mahasiswa tersebut, pola disisentif pada akhirnya dibekukan pada tanggal 23 November 2012 menurut pengakuan Sulystio, Kepala Seksi Pengelolaan Sepeda Kampus, Parkir dan K3. Dan sistem KIK tetap diberlakukan. Namun perkembangan selanjutnya, permintaan KIK baru tidak dilayani lagi semenjak November 2013 dengan alasan banyak KIK yang ditemukan palsu oleh pihak SKK. Dengan tidak dilayani lagi permohonan KIK baru, praktis penggunaan karcis dioptimalkan untuk mengontrol keluar masuk kendaraan.

1.2.    Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian evaluasi ini adalah:
1)     Bagaimana evaluasi kegiatan ini dilihat dari input, proses, dan outputnya?
2)     Apa faktor-faktor yang mendukung dan menghambat kegiatan?

  II.   Evaluasi
          Evaluasi yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah evaluation. Secara umum, pengertian evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah ada selisih di antara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan itu bila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh. Dalam pengertian yang lain, evaluasi adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan, sampai sejauh mana tujuan program telah tercapai. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wrightstone, dkk (1956) yang mengemukakan bahwa pengertian evaluasi adalah penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan ke arah tujuan atau nilai-nilai yang telah ditetapkan.
Evaluasi dimaknai sebagai suatu proses yang menggambarkan, menghasilkan dan menyajikan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan (Stufflebeam, 1973). Sejalan dengan pendapat tersebut, Worthendan Sanders (1973) mengartikan evaluasi sebagai pemrolehan informasi yang digunakan dalam menilai manfaat sebuah program, produk, prosedur, tujuan atau kegunaan potensial dari pendekatan-pendekatan alternative yang dirancang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Peter H Rossi dan Freeman mendefinisikan penelitian evaluasi sebagai aplikasi sistematis prosedur penelitian sosial dalam menilai konseptualisasi dan desain, implementasi dan manfaat aktivitas dan program dari suatu organsiasi:
“evaluation research is a systemati application of social resen and arch procedures in assessising in the conceptualization and design, implementation and utility social intervention program.”
Terkait dengan tujuan evaluasi kebijakan, hal ini juga dikemukakan oleh (Subarsono, 2006:120-121). Yang menyebutkan beberapa point antara lain: a) menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. b) mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan; c) mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan kualitas pengeluaran atau outpur dari suatu kebijakan; d) megukur dampak suatu kebijakan. Pada tahapan lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan baik dampak positif maupun dampak negative dan e) bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang.  Tujuan akhir dari evaluasi kebijakan adalah untuk memberikan masukan dari proses kebijakan ke masa depan agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik, dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Kebijakan sebagai suatu proses

Proses Kebijakan




Input
Output
Outcome
Dampak
 








(Sumber diambil dari Subarsono 2006:121)
         
          Apa yang dimaksudkan dengan input adalah bahan baku (raw materials) yang digunakan sebagai masukan dalam sebuah sistem kebijakan. Input tersebut berupa sumberdaya manusia, sumberdaya finansial, tuntutan-tuntutan, dukungan masyarakat. Output adalah keluaran dari sebuah sistem kebijakan, yang dapat berupa peraturan, kebijakan pelayanan/jasa dan program. Sedangkan outcome adalah hasil suatu kebijakan dalam jangka waktu tertentu sebagai akibat diimplementasikannya suatu kebijakan. Adapun, impact adalah akibat lebih jauh pada masyarakat sebagai konsekuensi adanya kebijakan yang diimplementasikan (subarsono, 2006:121-122). Winarno (2007) melihat evaluasi kebijakan sebagai kegiatan fungsional yang dilakukan bukan hanya pada tahap akhir tetapi dilakukan dalam seluruh proses kebijakan.
          Berkaitan dengan penelitian ini, impact tidak dilihat karena kegiatan penggunaan karcis identitas baru berjalan dua tahun sehingga belum bisa diukur dampak dari program ini. Untuk itu penelitian evaluasi ini hanya membatasi pada evaluasi input, proses dan output.

 III.   Metode evaluasi
3.1.    Jenis penelitian
        Penelitian evaluasi ini menggunakan metode kualitatif dengan cara wawancara dan in-dept interview. Pertimbangan menggunakan teknik ini adalah agar mendapatkan data langsung dari narasumber.
3.2.    Lingkup penelitian
        Wawancara diselenggarakan di dalam lingkungan kampus UGM. Untuk pengelola karcis dan kepala SKK diwawancarai di ruang kerja. Bagi petugas portal dan anggota SKK diwawancarai di pos penjagaan. Sedangkan mahasiswa, dilakukan wawancara pada beberapa tempat, seperti perpustakaan, hall dan ruang kelas.

3.3.    Ukuran dan Teknik Pengambilan sampel
Responden dalam penelitian ini terdiri dari mahasiswa, anggota SKK dan petugas portal. Untuk petugas portal hanya pada 2 cluster yaitu cluster lembah dan sosio humaniora, hal ini dikarenakan keterbatasan waktu penelitian. Sedangkan key informan terdiri dari pengelola karcis dalam hal ini Kepala Seksi Sepeda Kampus, Parkir dan K3 dan penanggungjawab portal dalam hal ini kepala SKK (Satuan Keamanan Kampus).
  Sedangkan teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling (Sugiyono, 2013: 82). Dengan asumsi bahwa setiap mahasiswa, petugas portal dan anggota SKK dapat diperoleh data tanpa mempertimbangkan aspek-aspek tertentu.

3.4.    Jenis dan sumber data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan jalan interview atau wawancara. Sedangkan sumber data terdiri dari data primer berupa data yang diperoleh dari hasil wawancara, dan data sekunder yang diperoleh dari dokumen pada bagian PPA UGM.

3.5.    Analisis
            Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen (dalam Lexy J. Moleong, 2014: 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikann data, memiliah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Di pihak lain, masih menurut Moleong dengan mengutip Seiddel (1998), analisis data kualitatif, prosesnya berjalan sebagai berikut: (a) mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri; (b) mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar dan membuat indeksnya; (c) berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian evaluasi ini, analisis dilakukan dengan jalan melakukan pengkodean data. Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dicatat, diklasifikasikan, dibuat rangkuman kemudian diberi kode sesuai sumber data yang didapat. Selanjutnya dibuat kesimpulan dengan mencari dan menemukan maksud, makna dan hubungan dari temuan hasil wawancara.

IV.   Temuan
                    Dari hasil wawancara dan pengambilan data ditemukan beberapa hal berkaitan dengan penggunaan karcis identitas kendaraan sebagai berikut:
4.1.  Input
Yang dimaksud dengan input dalam penelitian ini adalah sumberdaya manusia, sumberdaya finansial dan sarana dan prasarana. SDM dalam penelitian ini adalah personalia yang bertugas mengadakan dan mendistribusikan karcis. Sumberdaya finansial yakni dana yang dibutuhkan untuk mendukung penggunaan karcis kendaraan. Sedangkan sarana dan prasarana yang dimaksud adalah segala fasilitas yang mendukung keberhasilan kegiatan seperti komputer, printer, kertas, portal dan pos penjagaan.
Dalam kaitan dengan input kegiatan karcis identitas kendaraan, menurut Kepala Seksi Pengelolaan Sepeda Kampus, Parkir dan K3, dari sisi SDM, dana dan sarana prasarana dikatakan tersedia dengan baik. Menurutnya pada bagian karcis yang bertugas mengurus adalah 2 orang. Keduanya bertugas mengadakan, mendistribusikan dan membuat pelaporan tentang penggunaan karcis. Dari sisi dana, menurutnya, tidak ada kendala karena dana sudah tersedia. Namun menurutnya penggunaan karcis ini sebenarnya in-efisien karena merupakan sebuah pemborosan anggaran.  Sedangkan dari sisi sarana-prasarana, beliau mengatakan UGM memiliki sarana prasarana yang memadai dalam mendukung keberhasilan kegiatan ini, seperti, komputer, portal dan pos penjagaan. Beliau menambahkan untuk sementara tidak dibutuhkan ada penambahan portal, karena portal yang ada dirasa cukup untuk akses ke dalam lingkungan kampus.
4.2.  Proses
Yang dimaksud dengan proses dalam evaluasi penggunaan karcis kendaraan ini adalah bagaimana cara kerja kegiatan ini, dari awal siapa yang bertanggungjawab penuh, siapa yang melaksanakan, bagaimana pelaksanaan dan pelaporannya.
Penggunaan karcis, menurut Kasie Pengelolaan Sepeda Kampus, Parkir dan K3 merupakan tanggungjawab kepala SKK. Karena dia berargumentasi bahwa bagian aset hanya menyediakan karcis sedangkan pelaksanaan di lapangan adalah sudah menjadi wewenang kepala SKK. Penentuan petugas portal dan jadwal penjagaan pun menjadi kewenangan kepala SKK. Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada kepala SKK, beliau membenarkan karena menurut dosen fakultas geografi ini: “ide awal penggunaan KIK adalah berasal dari SKK. Aset hanya menyediakan karcis, namun selanjutnya sudah menjadi wilayah kerja saya.”
Karcis identitas kendaraan ini tiap hari didistribusikan oleh 2 petugas pada bagian PPA ke titik-titik portal atau pos penjagaan. Menurut pengakuan Sulystio, kurang lebih 3000–4000 lembar karcis tiap hari didistribusikan pada 11 portal baik untuk roda dua maupun roda empat. Kemudian pada pukul 24.00 karcis yang terpakai dihitung oleh petugas portal agar besok pagi dikembalikan ke bagian aset. Setelah mendapatkan keterangan dan jumlah karcis yang terpakai, 2 orang yang bertugas mengadakan karcis membuat pelaporan harian, mingguan dan bulanan untuk disampaikan pada pimpinan.
Berdasarkan Laporan Karcis KIK Terpakai yang diperoleh dari Seksi Pengelolaan Sepeda Kampus, Parkir dan K3, rerata per hari karcis yang terpakai adalah 23740 lembar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rata-rata jumlah kendaraan perhari yang keluar/masuk dalam lingkungan kampus UGM baik roda dua maupun roda empat adalah 23740 buah.
4.3.  Output
Berdasar pada hasil wawancara dengan kepala SKK, ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pra dan pasca pemberlakuan kartu dan karcis identitas kendaraan. Artinya tujuan menciptakan kampus yang ramah dan nyaman telah tercapai. Menurut pengakuan beliau: “dulu orang bebas saja keluar masuk kampus walaupun sebenarnya tidak berkepentingan. UGM oleh masyarakat umum dijadikan jalan alternatif, sehingga saban hari hilir-mudik kendaraan yang menimbulkan keributan dan polusi. Sampai-sampai ada kecelakaan dalam lingkungan kampus. Namun semenjak penggunaan KIK dan atau karcis persoalan ini perlahan bisa diminimalisir termasuk kasus curanmor.
Sedangkan ketika ditanyakan tentang perubahan situasi dan kondisi kampus pra dan pasca penggunaan KIK atau karcis ini, Kepala Seksi Pengelolaan Sepeda Kampus, Parkir dan K3 menuturkan bahwa: “ya suasananya lebih baiklah, lebih tenang, daripada dulu. Namun kalau dilihat penggunaan karcis ini tidak efisien karena pemborosan anggaran, untuk itu kita merencanakan penggunaan single id card yang dicoba melalui optimalisasi KTM atau kartu mahasiswa. Pertanyaan yang sama ketika diajukan kepada beberapa anggota SKK mereka mengatakan bahwa kondisi keamanaan kampus sebelum dan sesudah penggunaan KIK dan karcis terasa berbeda. Hal ini sesuai petikan salah satu hasil wawancara kami dengan salah seorang anggota SKK yang bertugas di University Club berikut ini: “sebelum adanya KIK dan karcis kendaraan, lingkungan kampus seperti jalan umum, semua bebas keluar masuk kampus, terlebih di gerbang depan bundaran UGM melewati GSP hingga keluar di mesjid kampus. Saking ramainya kendaraan yang hilir mudik sehingga terkadang terjadi kecelakaan. Mahasiswa atau juga masyarakat umum yang memanfaatkan GSP untuk olahraga terkadang mengeluh kehilangan barang seperti helm, perhiasan, dompet dan hp (telephone genggam). Namun semenjak pemberlakuan KIK lalu sekarang menggunakan karcis, situasi kampus lebih aman, kasus seperti pencurian hampir tidak ada lagi dan kendaran yang masuk terkontrol.
Ketika kepada mahasiswa ditanyakan tentang output dari penggunaan karcis ada pendapat beragam yang dikemukakan. Seperti dituturkan oleh salah seorang mahasiswa hukum sesuai pengalamannya dalam petikan wawancara berikut: “karcis itu sebenarnya kurang efektif, karena dapat membuat mahasiswa terlambat. Biasanya pagi-pagi sebelum jam 07.30 karena banyaknya kendaraan sehingga menimbulkan antrean panjang untuk sekedar mendapatkan karcis. Saya pernah suatu saat diusir oleh doesen karena terlambat gara-gara antrean mendapatkan karcis identititas kendaraan. Pendapat di atas diamini juga oleh beberapa mahasiswa Fisipol dan FEB. Untuk mengatasi hal ini ada usulan beberapa mahasiswa bahwa khusus di pagi hari sebaiknya karcis kendaraan tidak usa diberlakukakan. Karcis identitas kendaraan baru bisa di berlakukan di atas jam 10 sehingga meminimalisir keterlambatan mahasiwa atau juga dosen dan pegawai.
Namun ada juga mahasiswa lain mengatakan bahwa penggunaan karcis cukup efektif dimana keamanan kendaraan boleh terjamin jika melihat maraknya kasus curanmor (pencurian kendaraan bermotor) di jogja. Salah seorang mahasiswa S2 Peternakan yang juga baru menyelesaikan S1-nya setahun lalu mengatakan bahwa kendaraannya pernah dibawa kabur oleh seseorang namun ditemukan kembali oleh polisi. Namun dia menambahkan bahwa sebaiknya untuk benar-benar menghindari kasus curanmor alangkah baiknya, setiap kendaraan yang hendak keluar dari lingkungan kampus wajib menunjukkan STNK. Pendapat senada dikemukakan beberapa petugas portal yang bertugas di cluster sosio-humaniora. Menurut mereka penggunaan karcis belum bisa menjamin kendaraan seseorang bisa aman, karena jikalau mahasiswa buru-buru terkadang lupa mencabut kunci sepeda motor sedangkan karcis identitas kendaraan ditinggalkan di dalam jok sepeda motor, sehingga si pelaku dengan mudah memakai karcis tersebut untuk mencuri dengan tidak teridentifikasi.
Ada juga beberapa mahasiswa FTP yang berpendapat bahwa penggunaan karcis ini tidak efektif karena tidak ramah lingkungan. Menurut  mereka dengan adanya karcis ini justru akan menimbulkan sampah. Karena itu mereka mengusulkan sistem doble card, dimana KTM memiliki fungsi ganda selain untuk keperluan akademik juga untuk keperluan identitas kendaraan. Pendapat mahasiswa FTP diatas diamini oleh salah seorang mahasiswa Fisipol, namun dia menambahkan bahwa penggunaan karcis ini salah satu bentuk penghamburang uang: “coba kalkulasikan berapa dana yang dibutuhkan perbulan hanya untuk karcis yang setelah dicatat nomor kendaraan lalu dibuang, tidak efisien.” Selain itu dia berpendapat bahwa untuk keamanan kendaraan tidak hanya pengontrolan lewat karcis tetapi juga perlu dibangun lagi lahan parkir lebih khusus basement yang dilengkapi dengan kamera CCTV.
4.4.  Faktor pendukung dan penghambat
Dalam hal penggunaan karcis identitas kendaraan ini untuk faktor pendukung dapat dikatakan tidak ada persoalan, artinya sejauh ini lembaga sangat mendukung. Namun ada petugas portal khususnya perempuan yang berpendapat bahwa dari segi kesehatan petugas portal belum dijamin kesehatannya. Karena menurut mereka setiap hari mereka berhadapan dengan polusi udara baik dari debu mapun asap kendaraan sehingga mereka mengharapkan disiapkan juga masker.
Sedangkan untuk faktor penghambat rata-rata petugas portal berpendapat sama bahwa kurang adanya kesadaran mahsiswa untuk mengambil karcis. Hal ini biasa terjadi pada pagi hari. Selain itu ada juga yang terkadang melanggar rambu-rambu atau menempati jalur yang salah.

 V.   Kesimpulan
Berdasarkan temuan yang sudah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa dari segi input dengan indikator SDM, dana dan peralatan, maka penggunaan karcis identitas kendaraan dapat dikatakan berjalan dengan baik karena didukung oleh sumberdaya manusia yang cukup, dukungan dana dari lembaga dan ketersediaan fasilitas yang dapat menunjang keberhasilan implementasi kegiatan. Faktor penghambat pun ditemukan tidak menjadi kendala berarti dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Dari sisi proses kegiatan ini boleh dikatakan berjalan dengan baik karena berjalan sesuai pelaksanaan, terjalin koordinasi dengan baik antara bagian PPA dan SKK. Soal tanggungjawab walaupun berlainan tupoksi antara PPA yang menyediakan karcis dengan SKK yang menyediakan petugas portal namun sejauh ini tidak menghambat pelaksanaan di lapangan. Pelaporan penggunaan karcis pun berjalan sesuai mekanisme dan dilakukan secara rutin.
Jika mengacu pada hasil wawancara di atas maka dari sisi output terdapat perbedaan persepsi dimana pimpinan dan anggota SKK dan PPA cenderung berpendapat bahwa penggunaan karcis ini efektif dalam mengatasi kesemrawutan lalu lintas dan polusi udara dalam lingkungan kampus. Disini pimpinan melihatnya dari kacamata keamanan dan kenyamanan lingkungan kampus. Sedangkan mahasiswa cenderung melihat pada perspektif waktu dan efisiensi anggaran.

VI.   Rekomendasi
Berdasarkan uraian yang sudah dideskripsikan di atas, maka beberapa rekomendasi yang dapat diajukan adalah:
1)     Agar keamanan kampus terkhusus kendaraan bermotor lebih terjamin maka perlu diperbanyak lahan parkir, lebih khusus dibangun basement yang dilengkapi dengan kamera CCTV.
2)     Penempatan Kamera CCTV pada titik-titik tertentu dalam lingkungan kampus yang rawan terhadap gangguan keamanan.
3)     Pembuatan sigle id card dengan memfungsikan KTM.
4)     Kesehatan dari para petugas portal dan anggota SKK juga perlu diperhatikan dengan memberikan masker.
5)     Setiap kendaraan yang hendak meninggalkan lingkungan kampus diwajibkan menunjukkan STNK demi menghindari tindak pencurian.

Pustaka acuan
Stufflebeam, D.L. dan A.J. Shinkfield. 1985. Systematic Evaluation: A Self-Instructional Guide to Theory and Practice. New York: KluwerNijhof Publishing
Subarsono, A. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Jakarta: Media Pressindo
Worthen, B.R. dan J.R. Sanders. 2002. Educational Evaluation: Theory and Practice. Worthington: Charles Publishing Company

Tidak ada komentar:

Posting Komentar