EVALUASI
PENGGUNAAN KARCIS IDENTITAS KENDARAAN DALAM LINGKUNGAN KAMPUS UNIVERSITAS GADJAH
MADA
I. Pendahuluan
1.1.
Latar belakang
Salah
satu upaya yang dilakukan oleh UGM untuk mewujudkan visi pengembangan dan
pengelolaan kampus educopolis adalah
dengan mengendalikan arus lalu lintas kendaraan bermotor di kawasan UGM. Pola
ini diharapkan mampu mengurangi akses bagi publik yang tidak berkepentingan
dengan universitas. Hal ini diperlukan untuk menjaga ketenangan proses
pembelajaran dan menekan potensi kecelakaan lalu lintas, polusi udara, polusi
suara, dan pelanggaran hukum di kawasan kampus.
Dalam
rangka itu maka dibangun portal-portal jaga, dan semua kendaraan bermotor yang
memasuki lingkungan kampus diwajibkan mengantongi Karcis Identitas Kendaraan. Semulanya,
pembatasan jumlah kendaraan dan pengurangan akses bagi yang tidak
berkepentingan ini menggunakan sistem KIK (Kartu Identitas Kendaraan), dimana
setiap civitas akademika diwajibkan memiliki kartu tersebut, sedangkan yang
tidak memiliki KIK dikenakan sistem disisentif artinya pengendara yang tidak
memiliki KIK dipungut uang sebesar Rp. 100,00 untuk kendaraan roda dua dan Rp.
2000,00 bagi kendaraan roda empat. Penggunaan KIK ini menurut Kepala SKK UGM,
Noorhadi Rahardjo, bertujuan untuk: (1) pelayanan parkir di kawasan UGM; (2)
pembatasan akses kendaraan yang tidak berkepentingan dengan UGM; (3) pengawasan
keamanan kendaraan bermotor warga kampus dari tindak pencurian; (4)
mengendalikan jumlah kendaraan bermotor (khususnya mobil) yang parkir di
lokasi-lokasi padat kendaraan parkir. Pada intinya menurut Noorhadi, penggunaan
karcis ini selain dimaksudkan untuk mengurangi arus pemakaian kendaraan
bermotor namun lebih dari itu adalah mengutamakan pejalan kaki serta pengguna
sepeda.
Namun
dalam perjalanan, pemberlakuan KIK pada Januari 2010 tersebut diprotes oleh
mahasiswa dan juga masyarakat umum. Bagi yang kontra, pola disisentif tersebut menurut
mereka telah mengangkangi spirit UGM sebagai kampus kerakyatan. Mahasiswa
berpendapat bahwa tidak patut UGM menerapkan sistem disisentif, karena mereka
telah menunaikan kewajiban dengan pembayaran uang kuliah sehingga pungutan lain
diluar itu adalah ketidakwajaran. Somasi akhirnya dilayang ke ombudsman dalam
mempersoalkan pola disisentif yang diterapkan lembaga. Ombudsman kemudian
memenangkan mahasiswa.
Atas
terkabulnya somasi mahasiswa tersebut, pola disisentif pada akhirnya dibekukan
pada tanggal 23 November 2012 menurut pengakuan Sulystio, Kepala Seksi
Pengelolaan Sepeda Kampus, Parkir dan K3. Dan sistem KIK tetap diberlakukan.
Namun perkembangan selanjutnya, permintaan KIK baru tidak dilayani lagi
semenjak November 2013 dengan alasan banyak KIK yang ditemukan palsu oleh pihak
SKK. Dengan tidak dilayani lagi permohonan KIK baru, praktis penggunaan karcis
dioptimalkan untuk mengontrol keluar masuk kendaraan.
1.2.
Tujuan
Adapun
tujuan dari penelitian evaluasi ini adalah:
1)
Bagaimana evaluasi kegiatan ini
dilihat dari input, proses, dan outputnya?
2)
Apa faktor-faktor yang mendukung dan
menghambat kegiatan?
II.
Evaluasi
Evaluasi yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah evaluation. Secara umum, pengertian evaluasi adalah suatu proses untuk menyediakan
informasi tentang sejauh mana suatu kegiatan tertentu telah dicapai, bagaimana
perbedaan pencapaian itu dengan suatu standar tertentu untuk mengetahui apakah
ada selisih di antara keduanya, serta bagaimana manfaat yang telah dikerjakan
itu bila dibandingkan dengan harapan-harapan yang ingin diperoleh. Dalam pengertian yang lain, evaluasi adalah suatu
proses yang sistematis untuk menentukan atau membuat keputusan, sampai sejauh mana tujuan
program telah tercapai. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wrightstone, dkk (1956) yang
mengemukakan bahwa pengertian
evaluasi adalah
penaksiran terhadap pertumbuhan dan kemajuan ke arah tujuan atau nilai-nilai
yang telah ditetapkan.
Evaluasi dimaknai sebagai suatu proses yang
menggambarkan, menghasilkan dan menyajikan informasi yang berguna untuk
pengambilan keputusan (Stufflebeam, 1973). Sejalan dengan pendapat tersebut,
Worthendan Sanders (1973) mengartikan evaluasi sebagai pemrolehan informasi
yang digunakan dalam menilai manfaat sebuah program, produk, prosedur, tujuan
atau kegunaan potensial dari pendekatan-pendekatan alternative yang dirancang
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Peter H Rossi
dan Freeman mendefinisikan penelitian evaluasi sebagai aplikasi sistematis
prosedur penelitian sosial dalam menilai konseptualisasi dan desain,
implementasi dan manfaat aktivitas dan program dari suatu organsiasi:
“evaluation research is a
systemati application of social resen and arch procedures in assessising in the
conceptualization and design, implementation and utility social intervention
program.”
Terkait dengan tujuan evaluasi kebijakan, hal ini juga
dikemukakan oleh (Subarsono, 2006:120-121). Yang menyebutkan beberapa point
antara lain: a) menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi
dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. b) mengukur
tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui berapa
biaya dan manfaat dari suatu kebijakan; c) mengukur tingkat keluaran (outcome)
suatu kebijakan. Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar dan
kualitas pengeluaran atau outpur dari suatu kebijakan; d) megukur dampak suatu kebijakan.
Pada tahapan lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan
baik dampak positif maupun dampak negative dan e) bahan masukan (input) untuk kebijakan
yang akan datang. Tujuan akhir dari evaluasi
kebijakan adalah untuk memberikan masukan dari proses kebijakan ke masa depan
agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik, dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar
1. Kebijakan sebagai suatu proses
|
Proses
Kebijakan
|
|
|
|
Input
|
Output
|
Outcome
|
Dampak
|
(Sumber diambil dari Subarsono 2006:121)
Apa yang dimaksudkan dengan input
adalah bahan baku (raw materials)
yang digunakan sebagai masukan
dalam sebuah sistem kebijakan. Input tersebut berupa sumberdaya manusia,
sumberdaya finansial, tuntutan-tuntutan, dukungan masyarakat. Output adalah keluaran dari sebuah sistem
kebijakan, yang dapat berupa peraturan, kebijakan pelayanan/jasa dan program. Sedangkan
outcome adalah hasil suatu kebijakan dalam
jangka waktu tertentu sebagai akibat diimplementasikannya suatu kebijakan. Adapun,
impact adalah akibat lebih jauh pada masyarakat
sebagai konsekuensi adanya kebijakan yang diimplementasikan (subarsono,
2006:121-122). Winarno
(2007) melihat evaluasi kebijakan sebagai kegiatan fungsional yang dilakukan bukan
hanya pada tahap akhir tetapi dilakukan dalam seluruh proses kebijakan.
Berkaitan dengan penelitian ini, impact tidak dilihat karena kegiatan
penggunaan karcis identitas
baru berjalan dua tahun sehingga belum bisa diukur dampak dari program ini.
Untuk itu penelitian evaluasi ini hanya membatasi pada evaluasi input, proses
dan output.
III. Metode evaluasi
3.1.
Jenis penelitian
Penelitian
evaluasi ini menggunakan metode kualitatif dengan cara wawancara dan in-dept
interview. Pertimbangan menggunakan teknik ini adalah agar mendapatkan data
langsung dari narasumber.
3.2.
Lingkup penelitian
Wawancara
diselenggarakan di dalam lingkungan kampus UGM. Untuk pengelola karcis dan
kepala SKK diwawancarai di ruang kerja. Bagi petugas portal dan anggota SKK
diwawancarai di pos penjagaan. Sedangkan mahasiswa, dilakukan wawancara pada
beberapa tempat, seperti perpustakaan, hall dan ruang kelas.
3.3.
Ukuran dan Teknik Pengambilan sampel
Responden dalam penelitian ini terdiri
dari mahasiswa, anggota SKK dan petugas portal. Untuk petugas portal hanya pada
2 cluster yaitu cluster lembah dan sosio humaniora, hal ini dikarenakan
keterbatasan waktu penelitian. Sedangkan key informan terdiri dari pengelola
karcis dalam hal ini Kepala Seksi Sepeda Kampus, Parkir dan K3 dan
penanggungjawab portal dalam hal ini kepala SKK (Satuan Keamanan Kampus).
Sedangkan
teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling (Sugiyono, 2013:
82). Dengan asumsi bahwa setiap mahasiswa, petugas portal dan anggota SKK dapat
diperoleh data tanpa mempertimbangkan aspek-aspek tertentu.
3.4.
Jenis dan sumber data
Dalam penelitian ini,
pengumpulan data dilakukan dengan jalan interview atau wawancara. Sedangkan
sumber data terdiri dari data primer berupa data yang diperoleh dari hasil
wawancara, dan data sekunder yang diperoleh dari dokumen pada bagian PPA UGM.
3.5.
Analisis
Analisis
data kualitatif menurut Bogdan & Biklen (dalam Lexy J. Moleong, 2014: 248)
adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikann data, memiliah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan
apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain.
Di pihak lain, masih menurut Moleong
dengan mengutip Seiddel (1998), analisis data kualitatif, prosesnya berjalan
sebagai berikut: (a) mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal
itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri; (b) mengumpulkan,
memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar dan membuat
indeksnya; (c) berpikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai
makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat
temuan-temuan umum.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam
penelitian evaluasi ini, analisis dilakukan dengan jalan melakukan pengkodean
data. Data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dicatat, diklasifikasikan,
dibuat rangkuman kemudian diberi kode sesuai sumber data yang didapat.
Selanjutnya dibuat kesimpulan dengan mencari dan menemukan maksud, makna dan
hubungan dari temuan hasil wawancara.
IV.
Temuan
Dari
hasil wawancara dan pengambilan data ditemukan beberapa hal berkaitan dengan
penggunaan karcis identitas kendaraan sebagai berikut:
4.1. Input
Yang
dimaksud dengan input dalam penelitian ini adalah sumberdaya manusia,
sumberdaya finansial dan sarana dan prasarana. SDM dalam penelitian ini adalah
personalia yang bertugas mengadakan dan mendistribusikan karcis. Sumberdaya
finansial yakni dana yang dibutuhkan untuk mendukung penggunaan karcis
kendaraan. Sedangkan sarana dan prasarana yang dimaksud adalah segala fasilitas
yang mendukung keberhasilan kegiatan seperti komputer, printer, kertas, portal
dan pos penjagaan.
Dalam
kaitan dengan input kegiatan karcis identitas kendaraan, menurut Kepala Seksi
Pengelolaan Sepeda Kampus, Parkir dan K3, dari sisi SDM, dana dan sarana
prasarana dikatakan tersedia dengan baik. Menurutnya pada bagian karcis yang
bertugas mengurus adalah 2 orang. Keduanya bertugas mengadakan,
mendistribusikan dan membuat pelaporan tentang penggunaan karcis. Dari sisi
dana, menurutnya, tidak ada kendala karena dana sudah tersedia. Namun
menurutnya penggunaan karcis ini sebenarnya in-efisien
karena merupakan sebuah pemborosan anggaran. Sedangkan dari sisi sarana-prasarana, beliau
mengatakan UGM memiliki sarana prasarana yang memadai dalam mendukung
keberhasilan kegiatan ini, seperti, komputer, portal dan pos penjagaan. Beliau
menambahkan untuk sementara tidak dibutuhkan ada penambahan portal, karena
portal yang ada dirasa cukup untuk akses ke dalam lingkungan kampus.
4.2. Proses
Yang
dimaksud dengan proses dalam evaluasi penggunaan karcis kendaraan ini adalah bagaimana
cara kerja kegiatan ini, dari awal siapa yang bertanggungjawab penuh, siapa
yang melaksanakan, bagaimana pelaksanaan dan pelaporannya.
Penggunaan
karcis, menurut Kasie Pengelolaan Sepeda Kampus, Parkir dan K3 merupakan
tanggungjawab kepala SKK. Karena dia berargumentasi bahwa bagian aset hanya
menyediakan karcis sedangkan pelaksanaan di lapangan adalah sudah menjadi
wewenang kepala SKK. Penentuan petugas portal dan jadwal penjagaan pun menjadi
kewenangan kepala SKK. Ketika hal ini dikonfirmasikan kepada kepala SKK, beliau
membenarkan karena menurut dosen fakultas geografi ini: “ide awal penggunaan KIK adalah berasal dari SKK. Aset hanya
menyediakan karcis, namun selanjutnya sudah menjadi wilayah kerja saya.”
Karcis
identitas kendaraan ini tiap hari didistribusikan oleh 2 petugas pada bagian
PPA ke titik-titik portal atau pos penjagaan. Menurut pengakuan Sulystio,
kurang lebih 3000–4000 lembar karcis tiap hari didistribusikan pada 11 portal
baik untuk roda dua maupun roda empat. Kemudian pada pukul 24.00 karcis yang
terpakai dihitung oleh petugas portal agar besok pagi dikembalikan ke bagian
aset. Setelah mendapatkan keterangan dan jumlah karcis yang terpakai, 2 orang yang
bertugas mengadakan karcis membuat pelaporan harian, mingguan dan bulanan untuk
disampaikan pada pimpinan.
Berdasarkan
Laporan Karcis KIK Terpakai yang diperoleh dari Seksi Pengelolaan Sepeda
Kampus, Parkir dan K3, rerata per hari karcis yang terpakai adalah 23740
lembar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rata-rata jumlah kendaraan
perhari yang keluar/masuk dalam lingkungan kampus UGM baik roda dua maupun roda
empat adalah 23740 buah.
4.3. Output
Berdasar
pada hasil wawancara dengan kepala SKK, ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan pra dan pasca pemberlakuan kartu dan karcis identitas kendaraan.
Artinya tujuan menciptakan kampus yang ramah dan nyaman telah tercapai. Menurut
pengakuan beliau: “dulu orang bebas saja
keluar masuk kampus walaupun sebenarnya tidak berkepentingan. UGM oleh
masyarakat umum dijadikan jalan alternatif, sehingga saban hari hilir-mudik
kendaraan yang menimbulkan keributan dan polusi. Sampai-sampai ada kecelakaan
dalam lingkungan kampus. Namun semenjak penggunaan KIK dan atau karcis
persoalan ini perlahan bisa diminimalisir termasuk kasus curanmor.
Sedangkan
ketika ditanyakan tentang perubahan situasi dan kondisi kampus pra dan pasca
penggunaan KIK atau karcis ini, Kepala Seksi Pengelolaan Sepeda Kampus, Parkir
dan K3 menuturkan bahwa: “ya suasananya
lebih baiklah, lebih tenang, daripada dulu. Namun kalau dilihat penggunaan
karcis ini tidak efisien karena pemborosan anggaran, untuk itu kita
merencanakan penggunaan single id card yang dicoba melalui optimalisasi KTM
atau kartu mahasiswa. Pertanyaan yang sama ketika diajukan kepada beberapa
anggota SKK mereka mengatakan bahwa kondisi keamanaan kampus sebelum dan
sesudah penggunaan KIK dan karcis terasa berbeda. Hal ini sesuai petikan salah
satu hasil wawancara kami dengan salah seorang anggota SKK yang bertugas di University
Club berikut ini: “sebelum adanya KIK dan
karcis kendaraan, lingkungan kampus seperti jalan umum, semua bebas keluar
masuk kampus, terlebih di gerbang depan bundaran UGM melewati GSP hingga keluar
di mesjid kampus. Saking ramainya
kendaraan yang hilir mudik sehingga terkadang terjadi kecelakaan. Mahasiswa
atau juga masyarakat umum yang memanfaatkan GSP untuk olahraga terkadang
mengeluh kehilangan barang seperti helm, perhiasan, dompet dan hp
(telephone genggam). Namun semenjak pemberlakuan KIK lalu
sekarang menggunakan karcis, situasi kampus lebih aman, kasus seperti pencurian
hampir tidak ada lagi dan kendaran yang masuk terkontrol.
Ketika
kepada mahasiswa ditanyakan tentang output dari penggunaan karcis ada pendapat
beragam yang dikemukakan. Seperti dituturkan oleh salah seorang mahasiswa hukum
sesuai pengalamannya dalam petikan wawancara berikut: “karcis itu sebenarnya kurang efektif, karena dapat membuat mahasiswa
terlambat. Biasanya pagi-pagi sebelum jam 07.30 karena banyaknya kendaraan
sehingga menimbulkan antrean panjang untuk sekedar mendapatkan karcis. Saya
pernah suatu saat diusir oleh doesen karena terlambat gara-gara antrean mendapatkan karcis identititas kendaraan.
Pendapat di atas diamini juga oleh beberapa mahasiswa Fisipol dan FEB. Untuk
mengatasi hal ini ada usulan beberapa mahasiswa bahwa khusus di pagi hari
sebaiknya karcis kendaraan tidak usa diberlakukakan. Karcis identitas kendaraan
baru bisa di berlakukan di atas jam 10 sehingga meminimalisir keterlambatan
mahasiwa atau juga dosen dan pegawai.
Namun
ada juga mahasiswa lain mengatakan bahwa penggunaan karcis cukup efektif dimana
keamanan kendaraan boleh terjamin jika melihat maraknya kasus curanmor (pencurian
kendaraan bermotor) di jogja. Salah seorang mahasiswa S2 Peternakan yang juga
baru menyelesaikan S1-nya setahun lalu mengatakan bahwa kendaraannya pernah
dibawa kabur oleh seseorang namun ditemukan kembali oleh polisi. Namun dia
menambahkan bahwa sebaiknya untuk benar-benar menghindari kasus curanmor
alangkah baiknya, setiap kendaraan yang hendak keluar dari lingkungan kampus wajib
menunjukkan STNK. Pendapat senada dikemukakan beberapa petugas portal yang
bertugas di cluster sosio-humaniora. Menurut mereka penggunaan karcis belum
bisa menjamin kendaraan seseorang bisa aman, karena jikalau mahasiswa buru-buru
terkadang lupa mencabut kunci sepeda motor sedangkan karcis identitas kendaraan
ditinggalkan di dalam jok sepeda motor, sehingga si pelaku dengan mudah memakai
karcis tersebut untuk mencuri dengan tidak teridentifikasi.
Ada
juga beberapa mahasiswa FTP yang berpendapat bahwa penggunaan karcis ini tidak
efektif karena tidak ramah lingkungan. Menurut
mereka dengan adanya karcis ini justru akan menimbulkan sampah. Karena
itu mereka mengusulkan sistem doble card, dimana KTM memiliki fungsi ganda
selain untuk keperluan akademik juga untuk keperluan identitas kendaraan. Pendapat
mahasiswa FTP diatas diamini oleh salah seorang mahasiswa Fisipol, namun dia
menambahkan bahwa penggunaan karcis ini salah satu bentuk penghamburang uang: “coba kalkulasikan berapa dana yang
dibutuhkan perbulan hanya untuk karcis yang setelah dicatat nomor kendaraan
lalu dibuang, tidak efisien.” Selain itu dia berpendapat bahwa untuk
keamanan kendaraan tidak hanya pengontrolan lewat karcis tetapi juga perlu
dibangun lagi lahan parkir lebih khusus basement yang dilengkapi dengan kamera
CCTV.
4.4. Faktor
pendukung dan penghambat
Dalam
hal penggunaan karcis identitas kendaraan ini untuk faktor pendukung dapat
dikatakan tidak ada persoalan, artinya sejauh ini lembaga sangat mendukung.
Namun ada petugas portal khususnya perempuan yang berpendapat bahwa dari segi
kesehatan petugas portal belum dijamin kesehatannya. Karena menurut mereka
setiap hari mereka berhadapan dengan polusi udara baik dari debu mapun asap
kendaraan sehingga mereka mengharapkan disiapkan juga masker.
Sedangkan
untuk faktor penghambat rata-rata petugas portal berpendapat sama bahwa kurang
adanya kesadaran mahsiswa untuk mengambil karcis. Hal ini biasa terjadi pada
pagi hari. Selain itu ada juga yang terkadang melanggar rambu-rambu atau
menempati jalur yang salah.
V.
Kesimpulan
Berdasarkan temuan yang sudah dikemukakan
di atas maka dapat disimpulkan bahwa dari segi input dengan indikator SDM, dana
dan peralatan, maka penggunaan karcis identitas kendaraan dapat dikatakan
berjalan dengan baik karena didukung oleh sumberdaya manusia yang cukup,
dukungan dana dari lembaga dan ketersediaan fasilitas yang dapat menunjang
keberhasilan implementasi kegiatan. Faktor penghambat pun ditemukan tidak
menjadi kendala berarti dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan.
Dari sisi proses kegiatan ini boleh
dikatakan berjalan dengan baik karena berjalan sesuai pelaksanaan, terjalin
koordinasi dengan baik antara bagian PPA dan SKK. Soal tanggungjawab walaupun
berlainan tupoksi antara PPA yang menyediakan karcis dengan SKK yang
menyediakan petugas portal namun sejauh ini tidak menghambat pelaksanaan di
lapangan. Pelaporan penggunaan karcis pun berjalan sesuai mekanisme dan
dilakukan secara rutin.
Jika mengacu pada hasil wawancara di
atas maka dari sisi output terdapat perbedaan persepsi dimana pimpinan dan
anggota SKK dan PPA cenderung berpendapat bahwa penggunaan karcis ini efektif
dalam mengatasi kesemrawutan lalu lintas dan polusi udara dalam lingkungan
kampus. Disini pimpinan melihatnya dari kacamata keamanan dan kenyamanan
lingkungan kampus. Sedangkan mahasiswa cenderung melihat pada perspektif waktu
dan efisiensi anggaran.
VI.
Rekomendasi
Berdasarkan
uraian yang sudah dideskripsikan di atas, maka beberapa rekomendasi yang dapat
diajukan adalah:
1)
Agar keamanan kampus terkhusus kendaraan
bermotor lebih terjamin maka perlu diperbanyak lahan parkir, lebih khusus
dibangun basement yang dilengkapi dengan kamera CCTV.
2)
Penempatan Kamera CCTV pada
titik-titik tertentu dalam lingkungan kampus yang rawan terhadap gangguan
keamanan.
3)
Pembuatan sigle id card dengan
memfungsikan KTM.
4)
Kesehatan dari para petugas portal dan
anggota SKK juga perlu diperhatikan dengan memberikan masker.
5)
Setiap kendaraan yang hendak
meninggalkan lingkungan kampus diwajibkan menunjukkan STNK demi menghindari tindak
pencurian.
Pustaka acuan
Stufflebeam, D.L. dan A.J. Shinkfield.
1985. Systematic Evaluation: A Self-Instructional Guide to Theory and Practice.
New York: KluwerNijhof Publishing
Subarsono, A. 2005. Analisis Kebijakan
Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Winarno,
Budi. 2007. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Jakarta: Media Pressindo
Worthen, B.R. dan J.R. Sanders. 2002.
Educational Evaluation: Theory and Practice. Worthington: Charles Publishing
Company
Tidak ada komentar:
Posting Komentar