Argue

Rabu, 12 November 2014

POSTUR DAN ANALISIS APBD NTT TAHUN ANGGARAN 2014


Prolog
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Dalam APBD termuat prioritas-prioritas pembangunan, terutama prioritas kebijakan dan target yang akan dicapai melalui pelaksanaan belanja daerah sesuai sumber daya yang tersedia baik yang didapatkan melalui skema transfer maupun perpajakan daerah dan retribusi daerah.
Penetapan prioritas-prioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya merupakan konsekuensi dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian, daerah bertanggungjawab sepenuhnya agar pengelolaan sumber daya dapat dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga dapat mendorong peningkatan kualitas belanja daerah (quality of spending), dengan memastikan dana tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah besar bagi masyarakat.
Salah satu faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor keuangan yang baik.[1] Istilah keuangan disini mengandung arti setiap hak yang berhubungan dengan masalah uang, yang antara lain berupa sumber pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai dengan tujuan  dan peraturan yang berlaku.
Faktor keuangan penting dalam setiap kegiatan pemerintahan, karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak membutuhkan biaya. Makin besar jumlah uang yang tersedia, makin banyak pula kemungkinan kegiatan atau pekerjaan yang dapat dilaksanakan. Demikian juga semakin baik pengelolaannya, semakin berdaya guna pemakaian uang tersebut.[2]
Perwujudan pelayanan publik di daerah tentunya berkorelasi erat dengan kebijakan Belanja Daerah. Belanja Daerah merupakan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah.

Gambaran APBD NTT
            Nusa Tenggara Timur adalah salah satu provinsi miskin di Indonesia. Dengan Pendapatan Asli Daerah yang sangat kecil, menjadikan daerah ini memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap dana perimbangan dari pusat. Selain itu pula potensi alam NTT belum diopimalkan untuk menjadi salah satu sumber pendapatan.
            Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi NTT No. 43 Tahun 2014 tentang penjabaran APBD 2014, telah ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2014. Di bawah ini diketengahkan komposisi APBD NTT TA 2014:
Tabel Komposisi APBD NTT Tahun Anggaran 2014
(Jutaan Rupiah)

Pendapatan
                  2.720.974
PAD
                      695.416
Pajak daerah
                      528.048
Retribusi daerah
                        29.712
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
                        55.817
Lain-lain PAD yang sah
                        81.840
Dana Perimbangan
                  1.290.418
DBH
                        84.495
DAU
                  1.131.688
DAK
                        74.236
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
                      735.139
Hibah
                        11.873
Dana darurat 

Dana bagi hasil pajak dari Provinsi dan Pemda lainnya

Dana penyesuaian dan otonomi khusus
                      717.288
Bantuan keuangan dari Provinsi atau Pemda lainnya

Lain-lain
                          5.979
Belanja
                  2.738.061
Belanja Tidak Langsung
                  1.756.409
Belanja Pegawai
                      485.429
Belanja Bunga

Belanja Subsidi

Belanja Hibah
                      923.508
Belanja Bantuan sosial
                        40.940
Belanja Bagi hasil kpd Kab/Kota dan Pemdes
                      254.525
Belanja Bantuan keuangan kpd Kab/Kota dan Pemdes
                        34.508
Belanja tidak terduga
                        17.500
Belanja Langsung
                      981.652
Belanja Pegawai
                        78.695
Belanja Barang dan jasa
                      490.380
Belanja Modal
                      412.577
Pembiayaan Netto
                        17.087
Penerimaan Pembiayaan
                        97.957
SiLPA TA sebelumnya
                        90.190
Pencairan dana cadangan

Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan

Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah

Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman
                          7.767
Pengeluaran Pembiayaan
                        80.870
Pembentukan Dana Cadangan

Penyertaan Modal (Investasi) Daerah
                        75.870
Pembayaran Pokok Utang

Pemberian Pinjaman Daerah
                          5.000
Pembayaran Kegiatan Lanjutan

Pengeluaran Perhitungan Pihak Ketiga


            Berdasarkan komposisi anggaran di atas maka dapat dilakukan analisis terhadap APBD NTT Tahun Anggaran 2014 sebagai berikut:



1.     Sumber-sumber PAD
Jika dikaitkan dengan otonomi daerah, maka PAD merupakan sumber pendapatan yang penting untuk dapat membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan suatu daerah. PAD bahkan dapat memberi warna terhadap tingkat otonomi suatu daerah.[3] Dibawah ini ditampilkan persentase sumber-sumber PAD NTT Tahun Anggaran 2014:

Sumber: Olahan Data APBD 2014

Mengacu pada grafik di atas maka terlihat bahwa kontribusi terbesar PAD berasal dari pajak daerah sebesar 76%. Hal ini menandakan bahwa kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air sangat memberikan kontribusi dalam menyumbang pendapatan daerah. Sedangkan sumber lain seperti retribusi daerah, hasil pengolahan kekayaan daerah dan lain-lain PAD yang syah tidak berkontribusi nyata dalam menambah pundi-pundi PAD. Retribusi daerah memberi sumbangan paling sedikit bagi PAD NTT. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pemprov NTT belum mengoptimalkan retribusi jasa dan juga perizinan untuk menggenjot PAD. Atau juga iklim usaha di daerah ini belum bergairah untuk meningkatkan denyut nadi perekonomian daerah atau dengan kata lain NTT belum menjadi “surga” bagi para investor atau pelaku usaha, sehingga berpengaruh terhadap retribusi daerah yang sangat minim.
Kekayaan alam pun belum dikelola secara baik, sehingga kontribusinya hanya 12% terhadap PAD. Padahal jika ditilik, NTT cukup memiliki potensi alam yang jika dikelola dengan baik, justru akan meningkatkan pendapatan daerah. Sebut saja, potensi laut. NTT yang luas wilayahnya didominasi lautan memiliki “harta terpendam”, baik di atas maupun di dasar laut. Yang dimaksud di atas permukaan laut adalah keindahan pantai dan ombak yang dapat menjadi daya tarik wisata. Sedangkan bawah laut, NTT memiliki beberapa perairan yang masuk taman bawah laut terbaik di dunia. Selain itu pula perairan NTT kaya akan berbagai macam ikan, udang, mutiara dan sebagainya.

2.     Perbandingan Sumber Pendapatan
Sumber-sumber pendapatan daerah berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dari sumber-sumber inilah menjadi bagian dari pendapatan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Bedasarkan sumber-sumber pendapatan di atas, maka dapat ditunjukkan grafik sumber pendapatan sesuai postur APBD NTT 2014. Adapun persentase sumber pendapatan sebagai berikut:

Sumber: Olahan Data APBD NTT Tahun Anggaran 2014

Berdasarkan grafik di atas, ditemukan bahwa PAD NTT ternyata sangat kecil (26%), sehingga ketergantungannya terhadap pusat melalui dana perimbangan sangat tinggi (47 %) atau hampir separuh dari pendapatan daerah berasal dari uluran tangan pusat. Terlihat pula kontribusi dari BUMD atau BLUD sangat rendah (27%) terhadap sumbangan pendapatan daerah. Dengan demikian daerah ini boleh dikatakan belum mandiri jika dilihat dari perspektif otonomi daerah. Dengan rendahnya PAD, dapat menunjukkan bahwa Pemprov. NTT belum kreatif dalam mencari sumber pemasukan bagi daerah. Selain itu optimalisasi potensi lokal belum benar-benar diseriusi oleh pemprov NTT. BUMD pun tidak berkontribusi besar dalam mendongkrak pendapatan daerah.

3.     Belanja Tidak Langsung

Sumber: Olahan Data APBD NTT 2014

Mengacu pada presentase belanja tidak langsung di atas, maka terlihat jelas bahwa terdapat kejanggalan, dimana terdapat perbedaan begitu signifikan dalam pos-pos belanja tidak langsung ini. Dimana belanja hibah mendapat alokasi dana yang sangat besar, lebih dari setengah belanja tidak langsung yakni 53% dibandingkan dengan pos belanja lain dalam struktur belanja tidak langsung ini. Belanja hibah merupakan belanja pemerintah (pusat maupun daerah) dalam bentuk uang, barang, atau jasa dari pemerintah kepada pemerintah negara/provinsi/kabupaten/kota lain, lembaga/organisasi internasional, dan pemerintah daerah khususnya pinjaman dan/atau hibah luar negeri yang diterushibahkan ke daerah. Belanja hibah memiliki karakteristik tidak perlu dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, tidak secara terus menerus, bersifat sukarela dengan pengalihan hak dan dilakukan dengan naskah perjanjian antara pemberi hibah dan penerima hibah.[4]
Berdasarkan konsep dana hibah di atas maka dapat disinyalir bahwa begitu besarnya pos belanja hibah untuk postur APBD 2014 ini merupakan salah satu modus untuk menyalahgunakan uang rakyat oleh para elit di NTT. Sifat belanja hibah yang tidak mengikat inilah berpotensi terjadi penyelewengan uang negara. Atau belanjah hibah menurut hemat saya adalah salah satu modus pencitraan oleh kepala daerah dengan jalan memberikan hibah kepada kabupaten/kota. Selain itu pula belanja bantuan sosial dan bantuan keuangan (2%) walaupun kecil, tetapi patut dicurigai, karena berdasarkan hasil audit BPK Perwakilan NTT, dana bansos setiap tahun terdapat kejanggalan dalam penggunaan, atau rata-rata penggunaan tidak sesuai peruntukan.

4.     Belanja Langsung
Sesuai struktur APBD, belanja langsung meliputi belanja pegawai, belanja modal dan belanja barang dan jasa. Berdasarkan komposisi APBD NTT TA 2014, maka adapun persentase untuk pos anggaran belanja langsung sebagai berikut:

 
Sumber: Olahan Data APBD NTT TA 2014
Mengacu pada grafik belanja langsung di atas maka dari tiga komponen belanja langsung yakni belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal masih terdapat ketimpangan, dimana belanja barang dan jasa (50%) lebih tinggi dalam pos belanja langsung ini jika dibandingkan dengan belanja modal (42%). Belanja pegawai walaupun hanya 8% tetapi alangkah baiknya dikurangi lagi menjadi 5% dari belanja langsung untuk mendongkrak belanja modal. Biaya perjalanan dinas sebaiknya dipangkas dan mengurangi perjalanan dinas aparatur yang pada umunya tidak efektif atau hanya dipakai oleh pejabat untuk pelesiran keluar daerah.
Menilik besarnya belanja barang dan jasa maka dapat dikatakan bahwa pengeluaran pemerintah NTT dalam hal pembelian ATK dsb masih sangat tinggi, padahal jika mau dihemat pos anggaran ini dapat memperbesar belanja modal yang sudah seharusnya mendapat porsi paling besar untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur daerah.

5.     Penerimaan Pembiayaan
Pos anggaran penerimaan pembiayaan terdiri dari Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) dan penerimaan kembali pemberian pinjaman. Berdasarkan komposisi APBD NTT 2014 di atas, maka persentase penerimaan pembiayaan dapat dianalisis sebagai berikut:

Sumber: Olahan Data APBD NTT Tahun Anggaran 2014

Dari grafik ini terlihat bahwa SiLPA Provinsi NTT tahun anggaran sebelumnya berkontribusi besar dalam penerimaan pembiayaan TA 2014 ini, dengan persentase sebesar 92 % atau dalam nominal rupiah sebesar Rp. 90.190.000.000. Besarnya dana SiLPA ini menandakan bahwa serapan APBD NTT belum optimal, atau banyak program pemerintahan dan pembangunan yang tidak berjalan dengan baik pada tahun anggaran sebelumnya. Perencanaan pun boleh dikatakan tidak matang pada tahap penyusunan anggaran. Karenanya, kinerja SKPD perlu dievaluasi kembali oleh pimpinan daerah.
Melihat pembangunan NTT yang masih tertinggal dari provinsi lain di Indonesia maka besarnya dana SiLPA ini seharusnya tidak bisa dibiarkan. Walaupun SiLPA tetap digunakan untuk anggaran berikutnya namun pola seperti ini sudah saatnya dihilangkan, karena akan terjadi in-efektifitas dalam pembangunan daerah untuk kesejahteraan masyarakat.

6.     Pengeluaran pembiayaan
Di bawah ini ditunjukan persentase pengeluaran pembiayaan sesuai komposisi APBD NTT Tahun Anggaran 2014:

Sumber: Olahan Data APBD NTT TA 2014

Mengacu pada grafik di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengeluaran pembiayaan dalam postur APBD NTT 2014 didominasi oleh penyertaan modal sebesar 94 %, sedangkan pemberian pinajaman daerah hanya 6 %. Besarnya dana investasi daerah ini menunjukkan BUMD/BLUD belum mandiri sehingga sangat tergantung pada APBD. Oleh karena itu BUMD/BLUD yang tidak produktif dan hanya menyedot anggaran daerah sebaiknya ditutup. Atau manajemen perusahaan daerah tersebut perlu dievaluasi untuk melihat kekurangan dan kesalahan dalam pengelolaan. Personalia yang tidak berkompeten pun perlu diganti.
Modus pembancakan anggaran rakyat ini salah satunya melalui BUMD. Si Kepala Daerah menempatkan orang-orang dekatnya untuk mengelola BUMD agar lebih mudah dalam menggunakan uang untuk kepentingan sang Kepala Daerah dan kroni-kroninya, salah satunya adalah untuk kepentingan suksesi. Jika demikian maka pihak berwajib perlu melakukan penyelidikan atau audit terhadap keuangan pada BUMD dimaksud.

Simpulan dan Saran
            Berdasarkan analisis yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa postur APBD NTT 2014 masih pro aparatur atau jauh dari penggunaan untuk publik. Dengan besarnya penggunaan dana APBD untuk belanja pegawai pada pos anggaran belanja barang dan jasa sebesar 50 % dan belanja pegawai sebesar 8% jika dibandingkan belanja modal untuk kesejahteraan masyarakat sebesar 42%. Belanja aparatur yang tidak terlalu urgen sebaiknya dihapus. Perjalanan dinas yang hanya dimanfaatkan untuk pelesiran pejabat ke luar negeri/daerah sebaiknya dihentikan, karena hanya menghambur-hamburkan uang rakyat.
            Belanja hibah sangat mendominasi agregat belanja daerah TA 2014 ini. Ketidakwajaran alokasi anggaran ini perlu dikawal oleh semua elemen, karena modus pembancakan anggaran rakyat salah satunya melalui dana hibah.
            Bantuan keuangan yang hanya 2% dalam postur APBD NTT ini, menurut hemat saya perlu dinaikan persentasenya, karena kabupaten/kota lah yang bersentuhan langsung dengan pelayanan dan pembangunan terhadap masyarakat. Keengganan pemprov NTT memberikan bantuan keuangan memberi kesan kurangnya dukungan terhadap pembangunan di kabupaten/kota. Lagipula kabupaten/kota yang lebih mengetahui pembangunan apa yang harus dilakukan dalam memajukan masyarakatnya.
            Besarnya SiLPA pun perlu menjadi perhatian pemerintah, agar masyarakat tidak dirugikan, sehingga kinerja instansi pemerintah sesegera mungkin dievaluasi. Perencanaan harus dilakukan secara matang, sehingga penggunaan APBD lebih efektif dalam kerangka memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu perusahaan daerah perlu dievaluasi agar eksistensinya benar-benar bermanfaat untuk kepentingan publik dan sumbangan pendapatan untuk daerah.
            Defisit anggaran yang terdapat dalam APBD NTT 2014 sebesar Rp. 17.087.302.000 tentunya tidak dianggap enteng karena jikalau dibiarkan maka daerah ini hanya melakukan pinjaman tiap anggaran baru atau mengharapkan silpa untuk menutup defisit ini. Karenanya perencanaan anggaran harus benar-benar melalui kalkulasi dengan menyesuaikan kekuatan anggaran daerah. Karena itu pembiayaan yang tidak urgen sebaiknya ditiadakan demi menghilangkan defisit setiap anggaran berjalan.
            Potensi alam NTT sudah saatnya dikelola dan dikembangkan demi memberikan kontribusi pendapatan daerah. Alam NTT yang kaya akan keindahan alamnya perlu dipromosi ke luar untuk menarik wisatawan manca negara. Sehingga dunia tidak hanya mengenal komodo tetapi keindahan alam lain, seni dan budaya yang juga tidak kalah menariknya. Selain potensi pariwisata, NTT juga berpotensi dalam bidang peternakan dan perikanan serta masih banyak potensi lain yang jika dikembangkan dan dikelola dengan baik akan memajukan daerah dan mensejahterakan masyarakat.



[1] Y.R. Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Kesatuan RI, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 61.
[2] M. Manulang, Dasar-dasar Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal. 67
[3] B.S. Asrori, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan untuk Melaksanakan Otonomi Daerah di Yogyakarta, Tesis, UGM, Yogyakarta, 2000
[4] Lihat Nota Keuangan RAPBN 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar