Pengantar
Program
Keluarga Harapan atau disingkat PKH adalah salah satu dari sekian program
pemerintah dalam mengentas kemiskinan di Indonesia dalam bentuk bantuan
langsung tunai kepada masyarakat penerima yang dikategorikan sebagai rumah
tangga sangat miskin. Program ini boleh juga dikatakan kalau terlalu ekstrim menjadi
“tameng” kebijakan populis pemerintah. PKH dapat dikatakan juga merupakan
senjata sakti untuk menahan kemarahan rakyat terhadap pemerintah yang menaikkan
harga BBM dan mencabut subsidi atasnya. Pemerintah lalu menyebutnya dengan dana
kompensasi BBM.
Dalam
Ekonomi Sektor Publik kita mengenal welfare
economic (ekonomi kesejahteraan) yang merupakan salah satu cetusan ide
brilian Armatya Sen dalam menanggapi ketidakadilan dan kemiskinan yang mendera
India dan negara-negara Sub Sahara Afrika. Kemudian di Indonesia ada Sri Edi
Swasono dan Sritua Arief yang juga sejalan dengan pemikiran Sen ini. Mereka
mungkin berbeda dalam menyikapi kasus. Namun intinya aksentuasi mereka pada
kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat, dengan situsi kemiskinan yang juga
sama di Asia dan Afrika.
Tulisan
ini sekedar mengajak kita untuk merenung bersama terkhusus para pengambil
kebijakan di Republik ini agar mampu meredefeniskan kembali konsep bantuan
tunai. Pemerintah mampu membantu warga masyarakat agar dapat keluar dari
kungkungan kemiskinan dengan memikirkan kebijakan secara komprehensif untuk
mengatasi masalah kemiskinan sampai ke hulu. Karena persoalan kemiskinan adalah
persoalan multidimensional.
PKH: Apa itu?
Program Keluarga Harapan (PKH)
merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang masuk kluster
program perlindungan dan bantuan sosial yang ditujukan kepada Rumah Tangga
Sangat Miskin (RTSM). Apabila dibanding dengan program lain PKH penerima
bantuan ditetapkan berdasarkan data BPS (PPLS) kemudian diverifikasi oleh
pendamping PKH baru ditetapkan sebagai calon peserta PKH.
Program yang merupakan kerjasama
lintas kementerian ini, pada tahap awal pelaksanaan program ada anggapan bahwa
program ini kelanjutan dari program Bantuan Langsung Tunai yang memberikan
bantuan tunai tanpa syarat. Namun berbeda dengan BLT, program ini mewajibkan
RTSM harus memeriksakan ibu hamil dan balita ke layanan kesehatan seperti
Posyandu dan Puskesmas dan menyekolahkan anaknya di sekolah SD dan SMP.
Bantuan dana tunai PKH diberikan kepada ibu atau perempuan
dewasa (nenek, bibi atau kakak perempuan) dan selanjutnya disebut Pengurus
Keluarga. Dana yang diberikan kepada pengurus keluarga perempuan ini bertujuan
meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan penerima bantuan. Pengecualian
dari ketentuan diatas dapat dilakukan pada kondisi tertentu, misalnya bila
tidak ada perempuan dewasa dalam keluarga maka dapat digantikan oleh
kepala keluarga. Sebagai bukti kepesertaan PKH, KSM diberikan Kartu
Peserta PKH. Uang bantuan dapat diambil oleh Pengurus Keluarga di Kantor Pos
terdekat dengan membawa Kartu Peserta PKH dan tidak dapat diwakilkan. Sebagian
peserta PKH menerima bantuan melalui rekening bank (BRI).
Adapun besaran bantuan dana yang didapat oleh RTSM
adalah sebagai berikut:
Skenario Bantuan
|
Bantuan per RTSM per
tahun
|
Bantuan tetap
|
200.000
|
Bantuan bagi RTSM
yang memiliki: Anak usia di bawah 6 tahun dan/ atau ibu hamil/menyusui
|
800.000
|
Anak usia SD/MI
|
400.000
|
Anak usia SMP/MTs
|
800.000
|
Rata-rata bantuan
per RTSM
|
1.390.000
|
Bantuan minimum per
RTSM
|
600.000
|
Bantuan maksimum per
RTSM
|
2.200.000
|
Tujuan umum PKH menurut
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemisikinan (TNP2K) adalah untuk
mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber
daya manusia, serta mengubah perilaku yang kurang mendukung peningkatan
kesejahteraan dari kelompok paling miskin. Tujuan ini berkaitan langsung dengan
upaya mempercepat pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs).
Secara khusus, tujuan PKH adalah: 1). Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan
pendidikan dan kesehatan bagi Peserta PKH. 2). Meningkatkan taraf pendidikan
Peserta PKH. 3). Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil (bumil), ibu
nifas, bawah lima tahun (balita) dan anak prasekolah anggota Rumah Tangga
Sangat Miskin (RTSM)/Keluarga Sangat Miskin (KSM).
Saat ini komponen PKH difokuskan pada sektor kesehatan
dan pendidikan, mengingat kedua sektor ini merupakan inti peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat. Sasaran penerima bantuan PKH adalah Rumah Tangga Sangat
Miskin (RTSM) yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0- 15
tahun dan/ atau ibu hamil/nifas dan berada pada lokasi terpilih. Artinya
bantuan PKH adalah bantuan bersyarat yaitu Si penerima bantuan harus; 1. masih
mempunyai anak sekolah usia 7- 15 tahun serta anak usia 16- 18 tahun namun
belum selesai pendidikan dasar 9 tahun wajib belajar; 2. Membawa anak usia 0-6
tahun ke fasilitas kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi anak; 3.
Untuk ibu hamil, harus memeriksakan kesehatan diri dan janinnya ke fasilitas
kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi Ibu Hamil.
Memutus Mata Rantai Kemisikinan?
Permasalahan kemiskinan menjadi
permasalahan tersendiri disetiap negara, khususnya negara yang sedang
berkembang. Indonesia berdasarkan data BPS, pada tahun 2013 terdapat 24 juta
rumah tangga miskin. Untuk mengurangi angka kemiskinan diperlukan
langkah-langkah konkret berupa kebijakan yang tepat sasar dan komprehensif.
Dalam kaitan dengan ini, maka PKH
merupakan salah satu opsi yang dipilih pemerintah katanya (?) untuk memutus
mata rantai kemiskinan. Memang pada masa kepemimpinan SBY-Boediono ini terdapat
beberapa program pemerintah yang langsung menyentuh masyarakat miskin, antara
lain Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, Program Beasiswa Miskin, Program
Raskin, PNPM Mandiri Pedesaan, dan Program Kredit Usaha Rakyat. Program-program
ini terlihat baik dalam artian menyentuh langsung pada kantong-kantong
kemiskinan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah
apakah program ini benar-benar merata dan tidak diskriminatif? Karena jika kita
melihat pada PKH ini, telah terjadi ketidakmerataan dan diskriminasi antar
warga. Dimana dari penentuan rumah tangga penerima bantuan saja telah terjadi
ketidakmerataan dan diskriminasi yang bisa saja menimbulkan rasa iri hati
diantara sesama warga yang juga tergolong miskin. Karena tidak semua keluarga
miskin di desa dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan pemerintah di
atas.
Lalu bagaimana dengan RTM yang tidak
memenuhi semua persyaratan di atas? Mungkinkan mereka diam dan berpasrah?
Disini terlihat nyata bahwa negara dengan secara sadar mengadu domba warganya
sendiri. Memilah-milah dalam memberikan bantuan. Sehingga sebenarnya rantai apa
yang mau diputuskan; rantai kemiskinan atau kekeluargaan mereka?
Belum lagi negara kita selalu ada
persoalan menyangkut data mendata. Karena hal ini sampai terbawa ke pemilihan
umum. RTSM siluman pun banyak bermunculan, sampai-sampai media ramai-ramai memberitakan
tentang kebanyakan warga yang mengantre BLT di kantor pos atau bank datang
dengan sepeda motor dan di mamakai perhiasan di tangan, telinga atau dileher
mereka. Ironis memang.
Besaran dana yang diterima pun menjadi
persoalan, dimana dana rasa-rasanya tidak cukup untuk membantu RTM, karena
bayangkan saja dengan kenaikan harga BBM semua harga barang pun ikut merangkak
naik, termasuk pula biaya pendidikan dan kesehatan. Belum lagi biaya ATK,
seragam dan sepatu sekolah. Pemerintah sepertinya setengah hati dalam
mengangkat derajat kemiskinan warganya. Sekali lagi rantai apa yang mau
diputus?
PKH: Hanya ilusi Kesejahteraan
Secara ekonomis, kemiskinan
menggambarkan keadaan rumah tangga atau penduduk yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup tertentu. Menurut Darmin Nasution, pembatas yang digunakan
sebagai ukuran, sekalipun bersifat objektif tetap mengandung kenisbian karena
“kebutuhan hidup tertentu” bisa berbeda menurut ruang, waktu dan kebiasaan
masyarakat. Oleh karena itu pembatas yang dikenal sebagai garis kemiskinan
merupakan hasil persepsi dan kesepakatan yang bisa berbeda dari satu masyarakat
yang sama dalam waktu yang berlainan, atau bahkan bisa berbeda antara persepsi
seseorang dengan orang lainnya dalam waktu yang sama (Awan setya Dewanta, dkk
[ed.], 1995: 107).
Adalah
Armatya Sen, seorang ekonom tulen dengan gagasan welfare economics dan development
economics mengetengahkan peranan negara yang besar dalam menciptakan
kesejahteraan. Oleh karena itu peranan negara tidak bisa dihapus. Dengan
perkataan lain, dia menentang ide meminimalkan peranan negara. Tentang
kesejahteraan, Sen berpendapat bahwa menilai kesejahteraan seseorang
semata-mata dalam ukuran kebahagiaan atau pemenuhan-keinginan mengandung
sejumlah keterbatasan nyata (2005: 37).
Berbicara
tentang peran negara, dalam konteks Indonesia, Sri Edi Swasono (2005: 37)
mengatakan bahwa tanpa bermaksud mengabaikan pasal-pasal lain dalam UUD 1945,
Pasal 33 dan Pasal 27 (ayat 2) negara berkewajiban menggunakan kekayaan dan
sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh lagi Swasono menohok
peran negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sehingga kesejahteraan
sosial Indonesia bukanlah caritas atau filantropi. Kehidupan yang layak artinya
adalah anti kemiskinan (2005: 49).
Jika
kita sekedar memandang jauh ke Amerika, maka kesejahteraan masyarakat disana
hanya sebatas isu politik yang dimainkan oleh para calon presiden untuk
memenangkan pemilihan. Namun dengan program reformasi kesejahteraan yang
dijalankan AFDC mampu mengurai angka kemiskinan. Dengan program TANF yang
memberikan bantuan tunai bagi single parents dan residivis agar mampu berdaya
dan mandiri.
Di
Indonesia secara gamblang bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan hukum wajib
yang dilaksanakan oleh para pengambil kebijakan negara ini, karena telah
termuat dalam konstitusi negara. Itu berarti tidak ada alasan bahwa negara
membiarkan rakyatnya merana dalam kemiskinan. Negara mempunyai tanggungjawab
mutlak mensejahterakan warganya.
Program
Keluarga Harapan telah diluncurkan pemerintah untuk memenuhi sebagian perintah
UUD 1945. Dengan harapan yang dititipkan padanya adalah mengangkat Indonesia
dari jurang kemiskinan menuju pada kesejahteraan. Namun dalam praktiknya,
program ini hanyalah sebuah ilusi, karena ketidakmerataan dan diskriminatif
yang diperankan oleh negara dalam tataran penentuan penerima program.
Salah
satu kluster program ini yaitu pendidikan pun perlu dipertanyakan. Bagaimana
negara mampu menciptakan generasi masa depan bangsa bila fasilitas, sarana dan
prasarana pendidikan di daerah-daerah tertinggal masih amat memprihatinkan.
Gedung sekolah tidak layak, kekurangan guru, minimnya fasilitas belajar adalah
persoalan lain dari bangsa ini yang menurut Armatya Sen bahwa pendidikan adalah
salah satu faktor penyebab kemiskinan. Negara boleh saja memberi dukungan
dengan dana lewat PKH ini namun apakah di daerah atau kampung mereka,
pendidikan secara keseluruhan telah diperhatikan?
Bagaimana
mau mensejahterakan masyarakat Indonesia seutuhnya bila yang terjadi adalah sebuah
kebijakan yang setengah-setengah. Ini berarti problematika mengatasi kemiskinan
belumlah komprehensif, masih sebatas pada “asalkan ada program” atau sekedar
menyenangkan hati rakyat, lip service.
Kemudian diboncengi lagi dengan kepentingan politik sesaat, lengkaplah ilusi
kesejahteraan lewat topeng bantuan tunai yang bernama PKH.
Spirit
yang diusung oleh PKH pun sepertinya mengawang-awang. Pemberdayaan atau kemandirian
atau ketergantungan? Yang terakhir inilah rasanya lebih pas dalam men-judge program ini. Pemerintah tidak bisa
meninabobokan rakyat dengan program bantuan tunai yang hanya membuat masyarakat
duduk berpasrah menanti uluran tangan pemerintah. Program ini mendidik
masyarakat untuk sangat bergantung.
Belum
lagi mental masyarakat kita yang doyan pesta dan banyak upacara adat yang
menghamburkan duit yang tidak semestinya. Hal ini membuka peluang warga untuk
menyalahgunakan bantuan. Pengawasan terhadap penggunaan uang pun tidak ada,
maka sekali lagi ini sebuah ilusi kesejahteraan.
Simpul
Menyimak pembahasan yang
sudah digagas di atas maka beberapa simpul yang dapat ditarik adalah:
1.
Program
bantuan langsung di Indonesia lewat PKH masih sebatas pada hilir belum sampai
pada hulu, artinya walaupun dapat dilaksanakan tapi tidak menyentuh akar
kemiskinan itu sendiri.
2.
Program
pengentasan kemiskinan di Indonesia belum memiliki action plan yang nyata,
masih terbatas pada tataran program bukan implementasi
3.
Negara
belum sepenuhnya mengajak warganya untuk berdaya dan mandiri
4.
Telah
terjadi Ketidakmerataan dan diskriminasi terhadap masyarakat atas nama
kebijakan
5.
Kebutuhan-kebutuhan
dasar masyarakat belum sepenuhnya disediakan oleh negara.
Rekomendasi
Ketidakmerataan karunia
nikmat dan kekayaan sumber-sumber ekonomi kepada perorangan, masyarakat atau
bangsa adalah karena kuasa Tuhan pula, agar yang diberi berlebih menjadi sadar
untuk menegakkan persamaan dalam masyarakat dan bersyukur kepadaNya, dan agar
yang masih rendah tingkat kesejahteraannya berusaha keras untuk mencapai
tingkat yang lebih tinggi. Bertitikpijak pada pemikiran ini, dapat disimpulkan
adanya tiga kelompok kemiskinan, yaitu kemiskinan yang alamiah, yang kultural
dan yang struktural.
Kemiskinan alamiah dapat
terjadi dimana saja, di masyarakat maju atau miskin. Kemiskinan kultural
merupakan pilihan perorangan atau masyarakat yang bersangkutan karena budaya.
Kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan dalam pembangunan adalah kemiskinan
struktural. Di bidang kemiskinan struktural inilah, negara perlu merefleksikan
kembali perannya terhadap warga masyarakat. Untuk itu beberapa pemikiran yang
menjadi bahan permenungan kita bersama, terutama para pengambil kebijakan
adalah sebagai berikut:
1.
Meredefenisikan
kembali konsep program bantuan tunai dalam hal ini Program Keluarga Harapan
2.
Berilah
masyarakat itu kail bukan ikan artinya mengajak masyarakt untuk mandiri,
berdaya sendiri
3.
Lengkapilah
dulu sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan untuk membangun sumberdaya
manusia Indonesia
4.
Keseragaman
program yang langsung dari pusat sudah saatnya dihilangkan karena karakteristik
daerah harus mendapat tempat utama dalam kerangka kebijakan
5.
Persoalan
kemiskinan adalah persoalan yang multidimensional karena itu harus ditangani
dengan kebijakan yang komprehensif, tidak bisa setengah-setengah
6.
Belajar
dari AFDC di Amerika yang dengan program reformasi kesejahteraan dengan program
TANF-nya mampu mengurangi angka kemiskinan di Missouri dan memberdayakan
masyarakatnya disana.
Referensi
Carington,
William J., dkk. 2002. The Impact of Welfare Reform on Leaver Characteristics,
Empoyment and Recidivism. Jerman: IZA
Dewanta,
Awan Setya, dkk (ed). 1995. Kemisikinan dan Kesenjangan di Indonesia.
Yogyakarta: Aditya Media
Sen,
Amartya. 2001. Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin?: Sebuah Perbincangan
tentang Etika dan Ilmu Ekonomi di Fajar Milenium Baru (alih bahasa: Rahma
Astuti). Bandung: Penerbit Mizan
Swasono,
Sri Edi. 2005. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Perkumpulan
PraKarsa
Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2012. Panduan Pemantauan Program
Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar