Argue

Rabu, 12 November 2014

PROGRAM KELUARGA HARAPAN: ILUSI KESEJAHTERAAN (Percikan Permenungan Terhadap Program Bantuan Tunai di Indonesia)


Pengantar
            Program Keluarga Harapan atau disingkat PKH adalah salah satu dari sekian program pemerintah dalam mengentas kemiskinan di Indonesia dalam bentuk bantuan langsung tunai kepada masyarakat penerima yang dikategorikan sebagai rumah tangga sangat miskin. Program ini boleh juga dikatakan kalau terlalu ekstrim menjadi “tameng” kebijakan populis pemerintah. PKH dapat dikatakan juga merupakan senjata sakti untuk menahan kemarahan rakyat terhadap pemerintah yang menaikkan harga BBM dan mencabut subsidi atasnya. Pemerintah lalu menyebutnya dengan dana kompensasi BBM.
            Dalam Ekonomi Sektor Publik kita mengenal welfare economic (ekonomi kesejahteraan) yang merupakan salah satu cetusan ide brilian Armatya Sen dalam menanggapi ketidakadilan dan kemiskinan yang mendera India dan negara-negara Sub Sahara Afrika. Kemudian di Indonesia ada Sri Edi Swasono dan Sritua Arief yang juga sejalan dengan pemikiran Sen ini. Mereka mungkin berbeda dalam menyikapi kasus. Namun intinya aksentuasi mereka pada kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat, dengan situsi kemiskinan yang juga sama di Asia dan Afrika.
            Tulisan ini sekedar mengajak kita untuk merenung bersama terkhusus para pengambil kebijakan di Republik ini agar mampu meredefeniskan kembali konsep bantuan tunai. Pemerintah mampu membantu warga masyarakat agar dapat keluar dari kungkungan kemiskinan dengan memikirkan kebijakan secara komprehensif untuk mengatasi masalah kemiskinan sampai ke hulu. Karena persoalan kemiskinan adalah persoalan multidimensional.

PKH: Apa itu?
Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang masuk kluster program perlindungan dan bantuan sosial yang ditujukan kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Apabila dibanding dengan program lain PKH penerima bantuan ditetapkan berdasarkan data BPS (PPLS) kemudian diverifikasi oleh pendamping PKH baru ditetapkan sebagai calon peserta PKH.
Program yang merupakan kerjasama lintas kementerian ini, pada tahap awal pelaksanaan program ada anggapan bahwa program ini kelanjutan dari program Bantuan Langsung Tunai yang memberikan bantuan tunai tanpa syarat. Namun berbeda dengan BLT, program ini mewajibkan RTSM harus memeriksakan ibu hamil dan balita ke layanan kesehatan seperti Posyandu dan Puskesmas dan menyekolahkan anaknya di sekolah SD dan SMP.
Bantuan dana tunai PKH diberikan kepada ibu atau perempuan dewasa (nenek, bibi atau kakak perempuan) dan selanjutnya disebut Pengurus Keluarga. Dana yang diberikan kepada pengurus keluarga perempuan ini bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan penerima bantuan. Pengecualian dari ketentuan diatas dapat dilakukan pada kondisi tertentu, misalnya bila tidak ada perempuan dewasa dalam keluarga maka dapat digantikan oleh kepala keluarga. Sebagai bukti kepesertaan PKH, KSM diberikan Kartu Peserta PKH. Uang bantuan dapat diambil oleh Pengurus Keluarga di Kantor Pos terdekat dengan membawa Kartu Peserta PKH dan tidak dapat diwakilkan. Sebagian peserta PKH menerima bantuan melalui rekening bank (BRI).
Adapun besaran bantuan dana yang didapat oleh RTSM adalah sebagai berikut:
Skenario Bantuan
Bantuan per RTSM per tahun
Bantuan tetap
200.000
Bantuan bagi RTSM yang memiliki: Anak usia di bawah 6 tahun dan/ atau ibu hamil/menyusui
800.000
Anak usia SD/MI
400.000
Anak usia SMP/MTs
800.000
Rata-rata bantuan per RTSM
1.390.000
Bantuan minimum per RTSM
600.000
Bantuan maksimum per RTSM
2.200.000

Tujuan umum PKH menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemisikinan (TNP2K) adalah untuk mengurangi angka dan memutus rantai kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, serta mengubah perilaku yang kurang mendukung peningkatan kesejahteraan dari kelompok paling miskin. Tujuan ini berkaitan langsung dengan upaya mempercepat pencapaian target Millennium Development Goals (MDGs). Secara khusus, tujuan PKH adalah: 1). Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi Peserta PKH. 2). Meningkatkan taraf pendidikan Peserta PKH. 3). Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu hamil (bumil), ibu nifas, bawah lima tahun (balita) dan anak prasekolah anggota Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM)/Keluarga Sangat Miskin (KSM).
Saat ini komponen PKH difokuskan pada sektor kesehatan dan pendidikan, mengingat kedua sektor ini merupakan inti peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Sasaran penerima bantuan PKH adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0- 15 tahun dan/ atau ibu hamil/nifas dan berada pada lokasi terpilih. Artinya bantuan PKH adalah bantuan bersyarat yaitu Si penerima bantuan harus; 1. masih mempunyai anak sekolah usia 7- 15 tahun serta anak usia 16- 18 tahun namun belum selesai pendidikan dasar 9 tahun wajib belajar; 2. Membawa anak usia 0-6 tahun ke fasilitas kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi anak; 3. Untuk ibu hamil, harus memeriksakan kesehatan diri dan janinnya ke fasilitas kesehatan sesuai dengan prosedur kesehatan PKH bagi Ibu Hamil.

Memutus Mata Rantai Kemisikinan?
Permasalahan kemiskinan menjadi permasalahan tersendiri disetiap negara, khususnya negara yang sedang berkembang. Indonesia berdasarkan data BPS, pada tahun 2013 terdapat 24 juta rumah tangga miskin. Untuk mengurangi angka kemiskinan diperlukan langkah-langkah konkret berupa kebijakan yang tepat sasar dan komprehensif.
Dalam kaitan dengan ini, maka PKH merupakan salah satu opsi yang dipilih pemerintah katanya (?) untuk memutus mata rantai kemiskinan. Memang pada masa kepemimpinan SBY-Boediono ini terdapat beberapa program pemerintah yang langsung menyentuh masyarakat miskin, antara lain Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, Program Beasiswa Miskin, Program Raskin, PNPM Mandiri Pedesaan, dan Program Kredit Usaha Rakyat. Program-program ini terlihat baik dalam artian menyentuh langsung pada kantong-kantong kemiskinan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah program ini benar-benar merata dan tidak diskriminatif? Karena jika kita melihat pada PKH ini, telah terjadi ketidakmerataan dan diskriminasi antar warga. Dimana dari penentuan rumah tangga penerima bantuan saja telah terjadi ketidakmerataan dan diskriminasi yang bisa saja menimbulkan rasa iri hati diantara sesama warga yang juga tergolong miskin. Karena tidak semua keluarga miskin di desa dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan pemerintah di atas.
Lalu bagaimana dengan RTM yang tidak memenuhi semua persyaratan di atas? Mungkinkan mereka diam dan berpasrah? Disini terlihat nyata bahwa negara dengan secara sadar mengadu domba warganya sendiri. Memilah-milah dalam memberikan bantuan. Sehingga sebenarnya rantai apa yang mau diputuskan; rantai kemiskinan atau kekeluargaan mereka?
Belum lagi negara kita selalu ada persoalan menyangkut data mendata. Karena hal ini sampai terbawa ke pemilihan umum. RTSM siluman pun banyak bermunculan, sampai-sampai media ramai-ramai memberitakan tentang kebanyakan warga yang mengantre BLT di kantor pos atau bank datang dengan sepeda motor dan di mamakai perhiasan di tangan, telinga atau dileher mereka. Ironis memang.
Besaran dana yang diterima pun menjadi persoalan, dimana dana rasa-rasanya tidak cukup untuk membantu RTM, karena bayangkan saja dengan kenaikan harga BBM semua harga barang pun ikut merangkak naik, termasuk pula biaya pendidikan dan kesehatan. Belum lagi biaya ATK, seragam dan sepatu sekolah. Pemerintah sepertinya setengah hati dalam mengangkat derajat kemiskinan warganya. Sekali lagi rantai apa yang mau diputus?

PKH: Hanya ilusi Kesejahteraan
            Secara ekonomis, kemiskinan menggambarkan keadaan rumah tangga atau penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup tertentu. Menurut Darmin Nasution, pembatas yang digunakan sebagai ukuran, sekalipun bersifat objektif tetap mengandung kenisbian karena “kebutuhan hidup tertentu” bisa berbeda menurut ruang, waktu dan kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu pembatas yang dikenal sebagai garis kemiskinan merupakan hasil persepsi dan kesepakatan yang bisa berbeda dari satu masyarakat yang sama dalam waktu yang berlainan, atau bahkan bisa berbeda antara persepsi seseorang dengan orang lainnya dalam waktu yang sama (Awan setya Dewanta, dkk [ed.], 1995: 107).
            Adalah Armatya Sen, seorang ekonom tulen dengan gagasan welfare economics dan development economics mengetengahkan peranan negara yang besar dalam menciptakan kesejahteraan. Oleh karena itu peranan negara tidak bisa dihapus. Dengan perkataan lain, dia menentang ide meminimalkan peranan negara. Tentang kesejahteraan, Sen berpendapat bahwa menilai kesejahteraan seseorang semata-mata dalam ukuran kebahagiaan atau pemenuhan-keinginan mengandung sejumlah keterbatasan nyata (2005: 37).
            Berbicara tentang peran negara, dalam konteks Indonesia, Sri Edi Swasono (2005: 37) mengatakan bahwa tanpa bermaksud mengabaikan pasal-pasal lain dalam UUD 1945, Pasal 33 dan Pasal 27 (ayat 2) negara berkewajiban menggunakan kekayaan dan sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh lagi Swasono menohok peran negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sehingga kesejahteraan sosial Indonesia bukanlah caritas atau filantropi. Kehidupan yang layak artinya adalah anti kemiskinan (2005: 49).
            Jika kita sekedar memandang jauh ke Amerika, maka kesejahteraan masyarakat disana hanya sebatas isu politik yang dimainkan oleh para calon presiden untuk memenangkan pemilihan. Namun dengan program reformasi kesejahteraan yang dijalankan AFDC mampu mengurai angka kemiskinan. Dengan program TANF yang memberikan bantuan tunai bagi single parents dan residivis agar mampu berdaya dan mandiri.
            Di Indonesia secara gamblang bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan hukum wajib yang dilaksanakan oleh para pengambil kebijakan negara ini, karena telah termuat dalam konstitusi negara. Itu berarti tidak ada alasan bahwa negara membiarkan rakyatnya merana dalam kemiskinan. Negara mempunyai tanggungjawab mutlak mensejahterakan warganya.
            Program Keluarga Harapan telah diluncurkan pemerintah untuk memenuhi sebagian perintah UUD 1945. Dengan harapan yang dititipkan padanya adalah mengangkat Indonesia dari jurang kemiskinan menuju pada kesejahteraan. Namun dalam praktiknya, program ini hanyalah sebuah ilusi, karena ketidakmerataan dan diskriminatif yang diperankan oleh negara dalam tataran penentuan penerima program.
            Salah satu kluster program ini yaitu pendidikan pun perlu dipertanyakan. Bagaimana negara mampu menciptakan generasi masa depan bangsa bila fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah tertinggal masih amat memprihatinkan. Gedung sekolah tidak layak, kekurangan guru, minimnya fasilitas belajar adalah persoalan lain dari bangsa ini yang menurut Armatya Sen bahwa pendidikan adalah salah satu faktor penyebab kemiskinan. Negara boleh saja memberi dukungan dengan dana lewat PKH ini namun apakah di daerah atau kampung mereka, pendidikan secara keseluruhan telah diperhatikan?
            Bagaimana mau mensejahterakan masyarakat Indonesia seutuhnya bila yang terjadi adalah sebuah kebijakan yang setengah-setengah. Ini berarti problematika mengatasi kemiskinan belumlah komprehensif, masih sebatas pada “asalkan ada program” atau sekedar menyenangkan hati rakyat, lip service. Kemudian diboncengi lagi dengan kepentingan politik sesaat, lengkaplah ilusi kesejahteraan lewat topeng bantuan tunai yang bernama PKH.
            Spirit yang diusung oleh PKH pun sepertinya mengawang-awang. Pemberdayaan atau kemandirian atau ketergantungan? Yang terakhir inilah rasanya lebih pas dalam men-judge program ini. Pemerintah tidak bisa meninabobokan rakyat dengan program bantuan tunai yang hanya membuat masyarakat duduk berpasrah menanti uluran tangan pemerintah. Program ini mendidik masyarakat untuk sangat bergantung.
            Belum lagi mental masyarakat kita yang doyan pesta dan banyak upacara adat yang menghamburkan duit yang tidak semestinya. Hal ini membuka peluang warga untuk menyalahgunakan bantuan. Pengawasan terhadap penggunaan uang pun tidak ada, maka sekali lagi ini sebuah ilusi kesejahteraan.
           
Simpul
Menyimak pembahasan yang sudah digagas di atas maka beberapa simpul yang dapat ditarik adalah:
1.        Program bantuan langsung di Indonesia lewat PKH masih sebatas pada hilir belum sampai pada hulu, artinya walaupun dapat dilaksanakan tapi tidak menyentuh akar kemiskinan itu sendiri.
2.        Program pengentasan kemiskinan di Indonesia belum memiliki action plan yang nyata, masih terbatas pada tataran program bukan implementasi
3.        Negara belum sepenuhnya mengajak warganya untuk berdaya dan mandiri
4.        Telah terjadi Ketidakmerataan dan diskriminasi terhadap masyarakat atas nama kebijakan
5.        Kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat belum sepenuhnya disediakan oleh negara.

Rekomendasi
Ketidakmerataan karunia nikmat dan kekayaan sumber-sumber ekonomi kepada perorangan, masyarakat atau bangsa adalah karena kuasa Tuhan pula, agar yang diberi berlebih menjadi sadar untuk menegakkan persamaan dalam masyarakat dan bersyukur kepadaNya, dan agar yang masih rendah tingkat kesejahteraannya berusaha keras untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi. Bertitikpijak pada pemikiran ini, dapat disimpulkan adanya tiga kelompok kemiskinan, yaitu kemiskinan yang alamiah, yang kultural dan yang struktural.
Kemiskinan alamiah dapat terjadi dimana saja, di masyarakat maju atau miskin. Kemiskinan kultural merupakan pilihan perorangan atau masyarakat yang bersangkutan karena budaya. Kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan dalam pembangunan adalah kemiskinan struktural. Di bidang kemiskinan struktural inilah, negara perlu merefleksikan kembali perannya terhadap warga masyarakat. Untuk itu beberapa pemikiran yang menjadi bahan permenungan kita bersama, terutama para pengambil kebijakan adalah sebagai berikut:
1.        Meredefenisikan kembali konsep program bantuan tunai dalam hal ini Program Keluarga Harapan
2.        Berilah masyarakat itu kail bukan ikan artinya mengajak masyarakt untuk mandiri, berdaya sendiri
3.        Lengkapilah dulu sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan untuk membangun sumberdaya manusia Indonesia
4.        Keseragaman program yang langsung dari pusat sudah saatnya dihilangkan karena karakteristik daerah harus mendapat tempat utama dalam kerangka kebijakan
5.        Persoalan kemiskinan adalah persoalan yang multidimensional karena itu harus ditangani dengan kebijakan yang komprehensif, tidak bisa setengah-setengah
6.        Belajar dari AFDC di Amerika yang dengan program reformasi kesejahteraan dengan program TANF-nya mampu mengurangi angka kemiskinan di Missouri dan memberdayakan masyarakatnya disana.


Referensi
Carington, William J., dkk. 2002. The Impact of Welfare Reform on Leaver Characteristics, Empoyment and Recidivism. Jerman: IZA
Dewanta, Awan Setya, dkk (ed). 1995. Kemisikinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media
Sen, Amartya. 2001. Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin?: Sebuah Perbincangan tentang Etika dan Ilmu Ekonomi di Fajar Milenium Baru (alih bahasa: Rahma Astuti). Bandung: Penerbit Mizan
Swasono, Sri Edi. 2005. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Perkumpulan PraKarsa

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2012. Panduan Pemantauan Program Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar