Prolog
Konflik
aset daerah menjadi salah satu ekses negatif dari otonomi daerah. Alih-alih
memberi kewenangan kepada daerah untuk mengurus pemerintahan dan menjalankan
roda pembangunan secara mandiri, buntutnya terjadi kompleksitas problematika di
daerah. Sengketa aset antar daerah adalah sekelumit dari kisah piluh euforia
desentralisasi dan otonomi daerah.
Atas
dasar motif ekonomi, dimana PDAM sebagai salah satu sumber PAD, pemerintah
Kabupaten Kupang dan Kota Kupang bersikukuh mempertahankan pendapat masing-masing.
Tiap-tiap pihak mengklaim memiliki kebenaran. Salah satu
tudingan yang dialamatkan sebagai penyebabnya adalah karena lemahnya payung
hukum yang mengatur tentang otonomi daerah. Ditengah konflik yang kian memanas
dan kelihatan tidak ada upaya dari masing-masing pihak untuk berdialog dan
mencari solusi damai diperlukan mediasi dan intervensi pihak ketiga. Ya,
pemerintah provinsi atau pusat diharapkan menjadi mediator dan memberikan win-win solution guna mengakhiri konflik
antar daerah ini.
Sumber
Konflik
Menurut Ron Fisher, konflik adalah sifat semua
manusia dan itu adalah perilaku sosial masyarakat jatuh dalam konflik. Hal ini
terjadi karena perbedaan sosial, etnis dan psikologis di kalangan masyarakat (Musab Yousufi dan
Musa Khan, 2013:311).
Fisher mendefinisikan konflik sebagai
ketidakcocokan tujuan atau nilai antara dua pihak atau lebih dalam suatu
hubungan, dikombinasikan dengan upaya untuk mengendalikan setiap perasaan lain
dan antagonis terhadap satu sama lain. Mereka mendefinisikan tiga sumber
konflik (Musab Yousufi dan
Musa Khan, 2013:311); Pertama, konflik
ekonomi, yaitu tentang mendapatkan sumber daya yang terbatas. Setiap orang dan
kelompok ingin untuk mendapatkan lebih banyak seperti kepala negara atau raja
ingin menangkap lebih banyak lahan dan sumber daya sehingga harus ada
departemen negara untuk menjaga check and
balance. Kedua, konflik nilai,
konflik nilai itu berarti konflik ideologi seperti misalnya Perang Dingin.
Masing-masing pihak ingin menekankan ideologi dan sistem politik dan ekonomi.
Juga karena ini konflik terjadi.
Ketiga,
konflik kekuasaan. Konflik kekuasaan terjadi ketika semua orang atau setiap
kelompok dan pihak ingin mempertahankan daya maksimum. Hal ini tidak mungkin
bahwa masing-masing pihak memiliki kekuatan dalam sistem harus ada pihak yang
lebih lemah, akibatnya pihak yang lebih kuat muncul. Konflik kekuasaan dapat
terjadi antara negara-negara, bangsa, individu, kelompok, dll juga terjadi di
dalam negara seperti yang kita lihat di banyak negara bahwa aktor-aktor non
negara menantang kebijakan pemerintah. Keempat,
fungsi lembaga dalam darurat konflik. Lembaga memainkan peran penting dalam
munculnya konflik dan resolusi konflik jika lembaga-lembaga pemerintah
tersebut, semi pemerintah atau setengah publik dalam bentuk lembaga politik
atau sosial.
Berdasarkan sumber-sumber konflik
yang telah dikemukakan di atas, maka dalam kaitan dengan konflik pengelolaan
aset daerah antara kabupaten dan kota Kupang ini, dapat dikatakan bersumber
dari konflik ekonomi. Hal ini dikarenakan PDAM sebagai salah satu sumber PAD
diperebutkan guna menjadi penyumbang pemasukan bagi daerah. Ketiadaan sumber pendapatan
daerah menjadi biang konflik yang tak berujung ini. Kelangkaan sumberdaya alam
menjadi salah satu pemicu kompleksitas problematika otonomi daerah (Dwiyanto Agus, dkk, 2003: 69).
Menurut Richard A. Posthuma (2011: 109), konflik yang berhubungan dengan sumberdaya
alam disebabkan adanya inequality yang
disertai dengan terjadinya perebutan sumberdaya alam yang terbatas tersebut.
Perebutan sumberdaya alam merupakan salah satu sumber pertentangan tidak hanya
antar masyarakat, tetapi juga antar daerah. Pada dasarnya, konflik sumberdaya
alam berhubungan dengan pembagian batas wilayah administrasi dan perbedaan
potensi alam (Terrell G Manyak dan Isaac Wasswa Katono, 2010:47). Pada level regional, perselisihan
pengelolaan sumberdaya disebabkan pemda merasa memiliki sumberdaya alam pada
batas tertentu dan mengklaim suatu wilayah yang berpotensi untuk dijadikan
sebagai salah satu sumber pendapatan bagi daerahnya. Konflik inilah yang
kemudian mendorong terjadinya konflik antar daerah (Muhammad Hasbi Hanis,
2013: 47).
Klaim
Kepemilikan
Perusahaan Daerah
Air Minum (PDAM) Kupang pada mulanya dibangun oleh pemprov NTT dengan
menggunakan dana yang bersumber dari Kementrian PU, kemudian dihibahkan ke pemkab Kupang untuk
dikelola. Sertifikat kepemilikan pun hingga saat ini adalah atas nama
pemerintah kabupaten Kupang. Atas dasar inilah pemkab Kupang ngotot
mempertahankan kepemilikan aset yang satu ini.
Namun, persoalan
aset ini akhirnya mengemuka ketika wilayah kabupaten Kupang dimekarkan menjadi kota
administratif Kupang pada tanggal 18 September 1978 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun
1978. Selanjutnya melalui Undang Undang No. 5 tahun 1996 tanggal 25 April 1996,
Kupang diresmikan sebagai Kota Madya Daerah Tingkat II dengan S. K. Lerik sebagai
walikota pertama.
Pada awalnya,
berdasarkan kesepakatan antara masing-masing pimpinan daerah, pengelolaan PDAM
ditangani secara penuh oleh pemkab Kupang namun dengan sistim bagi hasil,
lantaran aset PDAM Kupang seperti sumur bor berada di wilayah Kota Kupang.
Namun pasca diterbitkannya
UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004, pemkot Kupang akhirnya menuntut kepemilikan
penuh atas PDAM karena sesuai amanat dari UU tersebut bahwa segala aset
yang berada di wilayah daerah pemekaran menjadi milik daerah tersebut. Selain itu pemkot berargumentasi bahwa pelanggan PDAM adalah warga Kota
Kupang sehingga tidak patut warga Kota Kupang menjalankan regulasi dari
Kabupaten Kupang.
Konflik pun kian memanas ketika kantor pemerintahan
kabupaten Kupang dipindahkan dari Kupang ke Oelamasi pada 2008 silam. Banyak
aset milik kabupaten yang ada di wilayah Kota Kupang dituntut oleh pemkot untuk
diambil alih, namun pemkab Kupang bersikeras menolak keinginan pemkot tersebut.
Salah satunya adalah PDAM.
Hingga saat ini, perang opini di media masa pun masih
berlangsung antara pemkab dan pemkot. Ancaman yang pernah dilontarkan oleh Jonas
Salean, walikota Kupang bahwa akan mengambil paksa semua aset pemkab yang
berada di wilayah kota dengan memberi deadline pada 31 Desember 2013 ditanggapi
bupati Kupang, Ayub Titu Eki dengan menyatakan perang terhadap pemkot bila benar-benar
ingin mengambil paksa aset PDAM dan 21 sumur bor. Dalam setiap kesempatan pun
walikota mengancam akan mengeluarkan instruksi kepada warga kota Kupang agar
tidak membayar tagihan PDAM kabupaten Kupang (Boy, 2013).
Lemahnya
Payung Hukum
Sejak
berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 jo UU No. 32/2004, harus diakui telah terjadi
banyak perubahan postif dan mendasar dalam sistem pemerintahan di daerah.
Semangat kemandirian dikalangan aparat dan masyarakat lokal, lebih sejajarnya
hubungan dan peran Pusat dan Daerah, serta lebih terakomodasikannya aspirasi
rakyat dalam kerangka manajemen pemerintahan, adalah beberapa hasil konstruktif
yang dapat diamati dari implementasi otonomi daerah. Meskipun demikian, harus
disadari pula bahwa masih terdapat kekurangan baik dalam aspek material
(kelemahan dilihat dari substansi pengaturan), aplikasi (kelemahan
dilihat dari kesalahan penafsiran atau karena ketiadaan aturan pelaksana),
maupun eksternalitas (kelemahan dilihat dari dampak langsung
maupun tidak langsung akibat berlakunya suatu aturan) (Abdul Gaffar Karim, 2006:79).
Kekurangan dari aspek
material akan berimplikasi kepada perlunya revisi terhadap pasal
dan ayat-ayat dalam aturan yang bersangkutan. Sementara dalam hal terjadi
kekurangan aplikatif, penyusunan aturan organik dan koordinasi antar
pihak-pihak terkait, mutlak diperlukan untuk memecahkan persoalan. Adapun
kekurangan eksternalitas membutuhkan pengaturan tersendiri yang
lepas dari peraturan induknya.
Kelemahan dari UU otonomi
daerah ini adalah ambiguitas pengaturan tentang kepemilikan aset daerah.
Walaupun UU menggariskan bahwa aset yang berada di daerah tersebut otomatis
menjadi milik daerah tersebut namun tidak memiliki kekuatan yang mengikat
karena ada regulasi lain yang juga dipegang oleh daerah lain. Undang-undang ini
justru tidak antisipatif terhadap ekses negatif yang timbul, semisal konflik
antar daerah menyangkut kepemilikan aset. UU ini dinilai lemah, tidak berdaya
mengatasi konflik kepemilikan aset daerah. Karena itu aspek material, aplikasi
dan eksternalitas perlu direview dan direvisi untuk mengakhiri konflik antar
daerah. Hemat penulis, UU ini perlu juga memasukan lembaga arbitrasi, mengatur
mekanisme penyelesaian konflik untuk dapat menyelesaikan sengketa atau konflik
di daerah, tidak saja konflik aset tetapi juga konflik lainnya.
Mediasi
dan Intervensi Pihak Ketiga
Ketika konflik bereskalasi, maka ia akan
melewati sejumlah tambahan transformasi tertentu. Meskipun
transformasi-transformasi pada masing-masing pihak terjadi secara terpisah,
tetapi mereka mempengaruhi konflik secara keseluruhan karena biasanya
dicerminkan kepada pihak lainnya. Sebagai hasil transformasi-transformasi ini,
konflik terintensifikasi secara terus-menerus dan seringkali menjadi semakin
sulit untuk diatasi (Mădălina Tomescu dan Mihaela Agatador Popescu, 2013:211).
Orang
atau pihak yang mengalami eskalasi bisa menjadi sangat terlibat dalam konflik
yang tajam. Pendirian masing-masing cenderung mengarah ke kekakuan; pihak
protagonis enggan menunjukkan kecendrungan konsiliatoris karena takut akan
disalahinterpretasikan sebagai tanda kelemahan (Michael
A Gross, 2013:97).
Disamping itu masing-masing pihak mungkin tidak memiliki cukup imajinasi,
kreativitas dan atau pengalaman yang dibutuhkan untuuk keluar dari himpitan
yang mereka ciptakan bersama – bukan karena mereka tidak menginginkannya ,
tetapi karena tidak tahu bagaimana caranya. Jadi untuk berrbagai alasan,
pihak-pihak yang berkonflik kadang-kadang tidak mampu atau tidak mau bergerak
dengan usahanya sendiri menuju kepada kesepakatan (Daan Schraven, dkk, 2011:70). Di dalam situasi semacam ini, pihak
ketiga seringkali menjadi terlibat karena diminta oleh salah satu pihak atau
lebih yang terlibat konflik, atau karena inisiatif mereka sendiri.
Disini
peran penting dimainkan pihak ketiga atau mediator. Pihak ketiga, entah
individu atau kolektif yang berada di luar konflik antara dua pihak atau lebih
mencoba membantu atau memediasi mereka untuk mencapai kesepakatan. Dengan
masuknya pihak ketiga, jalur destruktif eskalasi konflik para pelakunya
dialihkan, paling tidak untuk sementara (Mantas Bileišis, dkk, 2014:24). Kehadiran pihak ketiga merupakan
langkah yang tepat untuk menginterupsi berbagai gertakan, ancaman, kebohongan
dan janji yang menandai usaha masing-masing pelaku untuk menenangkan konflik
yang bereskalasi (Marc Gopin, 2013:137).
Dalam
menyelesaikan konflik aset antara pemkot dan pemkab kupang ini, hemat penulis
diperlukan mediasi dan intervensi pihak ketiga. Mediasi dilakukan guna
mempertemukan kedua bela pihak untuk mencari titik tengah atau win-win solution guna mengakhiri konflik
yang ada. Mediasi dan intervensi pihak ketiga ini sangat dibutuhkan karena
kedua pihak tetap pada pendirian masing-masing dan mengklaim memiliki kebenaran
atas persoalan terkait sengketa aset daerah ini (Mădălina Tomescu dan Mihaela Agatador Popescu, 2013:204).
Pihak
ketiga yang dimaksud disini adalah pemerintah provinsi dan atau pemerintah
pusat. Karena tanpa intervensi oleh provinsi atau pusat, konflik ini tidak akan
pernah selesai. Masing-masing pihak diharuskan menerima apapun keputusan yang
diambil oleh provinsi atau pusat. Karena itu langkah bijak provinsi atau pusat
sangat diharapkan untuk mengambil keputusan yang sama-sama menguntungkan kedua bela
pihak.
Epilog
Konflik yang terjadi di daerah sudah
saatnya ditanggapi serius oleh pemerintah pusat. Kewenangan yang luas yang
diberikan kepada daerah harus diikuti pula dengan payung hukum yang mampu mengakomodir
kebutuhan daerah demi meminimalisir konflik. Anggaran yang cukup, lembaga
arbitrasi dan mekanisme penyelesaian serta manajemen pengelolaan konflik perlu
menjadi agenda masa depan untuk perbaikan pemerintahan daerah. Jika konflik
seperti klaim kepemilikan aset dibiarkan begitu saja tentu berimplikasi
terhadap keberhasilan otonomi daerah, perhatian dan risorsis yang ada di daerah
tersedot untuk menyelesaikan konflik sehingga masalah-masalah strategis yang
lain akhirnya tidak mendapat perhatian.
Referensi
Bileišis, Mantas,
Arvydas Guogis dan Aušra Šilinskytė, 2014, Government-Community
Conflict: the Lithuanian Public Governance
Challenge, Public Policy and Administration 2014
Vol. 13 No 1, p. 22-35, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari Emerald Group
Publishing Limited
Boy, 2013, Ayub Siap Perang dengan Jonas Untuk Pertahankan PDAM
Kabupaten Kupang, Timor Ekspres, Rabu,
26 November 2013, diakses dari http://www.timorexpress.com/kupang-metro/ayub-siap-perang-dengan-jonas tanggal 24 Juni 2014
Dwiyanto Agus, dkk, 2003, Reformasi Tata
Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Gopin, Marc, 2013, Conflict Analysis and Conflict Resolution: Divorce and Friendly
Mediation, Negotiation Journal April 2013, diakses tanggal 20 Juni 2014
dari ProQuest
Gross, Michael A., Raymond Hogler dan
Christine A. Henle, 2013, Process,
people, and conflict management in organizations, International Journal of
Conflict Management Vol. 24 No. 1, 2013 pp. 90-103, diakses tanggal 20 Juni
2014 dari Emerald
Hanis, Muhammad Hasbi, Bambang Trigunarsyah
dan Connie Susilawati, 2011, The
application of public asset management in Indonesian local government A case
study in South Sulawesi province, Journal of Corporate Real Estate Vol. 13
No. 1, 2011 pp. 36-47, diakses tanggal 19 Juni 2013 dari Emeraldinsight
Karim, Abdul Gaffar, 2006, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerahdi
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Manyak, Terrell G. dan Isaac Wasswa Katono,
2010, Decentralization and Conflict in Uganda: Governance Adrift, African Studies Quarterly Volume 11, Issue 4 Summer 2010,
diakses tanggal 21 Juni 2014 dari Nepantla
Olowu, Dele, 2012, The
Constitutionalization of Local Government in Developing Countries—Analysis of
African Experiences in Global Perspective, Beijing Law Review,
2012, 3, 42-50, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari ProQuest
Posthuma, Richard A., 2011, Conflict Management and Performance Outcomes,
International Journal of Conflict Management Vol. 22 No. 2, 2011 pp. 108-110, diakses tanggal 20 Juni
2014 dari Emerald Group Publishing Limited
Schraven, Daan, Andreas Hartmann dan Geert
Dewulf, 2011, Effectiveness of
infrastructure asset management: challenges for public agencies, Built
Environment Project and Asset Management Vol. 1 No. 1, 2011 pp. 61-74, diakses
tanggal 20 Juni 2014 dari Emerald Group Publishing Limited
Tomescu, Mădălina
dan Mihaela Agatador Popescu, 2013, Ethics
and Conflicts of Interest In The Public Sector, Contemporary
Readings in Law and Social Justice Volume
5(2), 2013, pp. 201–206, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari Emeraldinsight
Yousufi, Musab dan
Musa Khan, 2013, Conflict Resolution:
Military Operation or Peace Deal, Journal of Educational and Social Research Vol. 3
No. 3 September 2013, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari ProQuest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar