Argue

Rabu, 12 November 2014

KLAIM KEPEMILIKAN ASET DAERAH (Bedah Kasus Perebutan Pengelolaan PDAM Antara Kabupaten Kupang dan Kota Kupang)


Prolog
            Konflik aset daerah menjadi salah satu ekses negatif dari otonomi daerah. Alih-alih memberi kewenangan kepada daerah untuk mengurus pemerintahan dan menjalankan roda pembangunan secara mandiri, buntutnya terjadi kompleksitas problematika di daerah. Sengketa aset antar daerah adalah sekelumit dari kisah piluh euforia desentralisasi dan otonomi daerah.
            Atas dasar motif ekonomi, dimana PDAM sebagai salah satu sumber PAD, pemerintah Kabupaten Kupang dan Kota Kupang bersikukuh mempertahankan pendapat masing-masing. Tiap-tiap pihak mengklaim memiliki kebenaran. Salah satu tudingan yang dialamatkan sebagai penyebabnya adalah karena lemahnya payung hukum yang mengatur tentang otonomi daerah. Ditengah konflik yang kian memanas dan kelihatan tidak ada upaya dari masing-masing pihak untuk berdialog dan mencari solusi damai diperlukan mediasi dan intervensi pihak ketiga. Ya, pemerintah provinsi atau pusat diharapkan menjadi mediator dan memberikan win-win solution guna mengakhiri konflik antar daerah ini.

Sumber Konflik
            Menurut Ron Fisher, konflik adalah sifat semua manusia dan itu adalah perilaku sosial masyarakat jatuh dalam konflik. Hal ini terjadi karena perbedaan sosial, etnis dan psikologis di kalangan masyarakat (Musab Yousufi dan Musa Khan, 2013:311).
            Fisher mendefinisikan konflik sebagai ketidakcocokan tujuan atau nilai antara dua pihak atau lebih dalam suatu hubungan, dikombinasikan dengan upaya untuk mengendalikan setiap perasaan lain dan antagonis terhadap satu sama lain. Mereka mendefinisikan tiga sumber konflik (Musab Yousufi dan Musa Khan, 2013:311); Pertama, konflik ekonomi, yaitu tentang mendapatkan sumber daya yang terbatas. Setiap orang dan kelompok ingin untuk mendapatkan lebih banyak seperti kepala negara atau raja ingin menangkap lebih banyak lahan dan sumber daya sehingga harus ada departemen negara untuk menjaga check and balance. Kedua, konflik nilai, konflik nilai itu berarti konflik ideologi seperti misalnya Perang Dingin. Masing-masing pihak ingin menekankan ideologi dan sistem politik dan ekonomi. Juga karena ini konflik terjadi.
            Ketiga, konflik kekuasaan. Konflik kekuasaan terjadi ketika semua orang atau setiap kelompok dan pihak ingin mempertahankan daya maksimum. Hal ini tidak mungkin bahwa masing-masing pihak memiliki kekuatan dalam sistem harus ada pihak yang lebih lemah, akibatnya pihak yang lebih kuat muncul. Konflik kekuasaan dapat terjadi antara negara-negara, bangsa, individu, kelompok, dll juga terjadi di dalam negara seperti yang kita lihat di banyak negara bahwa aktor-aktor non negara menantang kebijakan pemerintah. Keempat, fungsi lembaga dalam darurat konflik. Lembaga memainkan peran penting dalam munculnya konflik dan resolusi konflik jika lembaga-lembaga pemerintah tersebut, semi pemerintah atau setengah publik dalam bentuk lembaga politik atau sosial.
            Berdasarkan sumber-sumber konflik yang telah dikemukakan di atas, maka dalam kaitan dengan konflik pengelolaan aset daerah antara kabupaten dan kota Kupang ini, dapat dikatakan bersumber dari konflik ekonomi. Hal ini dikarenakan PDAM sebagai salah satu sumber PAD diperebutkan guna menjadi penyumbang pemasukan bagi daerah. Ketiadaan sumber pendapatan daerah menjadi biang konflik yang tak berujung ini. Kelangkaan sumberdaya alam menjadi salah satu pemicu kompleksitas problematika otonomi daerah (Dwiyanto Agus, dkk, 2003: 69).
            Menurut Richard A. Posthuma (2011: 109), konflik yang berhubungan dengan sumberdaya alam disebabkan adanya inequality yang disertai dengan terjadinya perebutan sumberdaya alam yang terbatas tersebut. Perebutan sumberdaya alam merupakan salah satu sumber pertentangan tidak hanya antar masyarakat, tetapi juga antar daerah. Pada dasarnya, konflik sumberdaya alam berhubungan dengan pembagian batas wilayah administrasi dan perbedaan potensi alam (Terrell G Manyak dan Isaac Wasswa Katono, 2010:47). Pada level regional, perselisihan pengelolaan sumberdaya disebabkan pemda merasa memiliki sumberdaya alam pada batas tertentu dan mengklaim suatu wilayah yang berpotensi untuk dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan bagi daerahnya. Konflik inilah yang kemudian mendorong terjadinya konflik antar daerah (Muhammad Hasbi Hanis, 2013: 47).

Klaim Kepemilikan
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kupang pada mulanya dibangun oleh pemprov NTT dengan menggunakan dana yang bersumber dari Kementrian PU,  kemudian dihibahkan ke pemkab Kupang untuk dikelola. Sertifikat kepemilikan pun hingga saat ini adalah atas nama pemerintah kabupaten Kupang. Atas dasar inilah pemkab Kupang ngotot mempertahankan kepemilikan aset yang satu ini.
Namun, persoalan aset ini akhirnya mengemuka ketika wilayah kabupaten Kupang dimekarkan menjadi kota administratif Kupang pada tanggal 18 September 1978 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1978. Selanjutnya melalui Undang Undang No. 5 tahun 1996 tanggal 25 April 1996, Kupang diresmikan sebagai Kota Madya Daerah Tingkat II dengan S. K. Lerik sebagai walikota pertama.
Pada awalnya, berdasarkan kesepakatan antara masing-masing pimpinan daerah, pengelolaan PDAM ditangani secara penuh oleh pemkab Kupang namun dengan sistim bagi hasil, lantaran aset PDAM Kupang seperti sumur bor berada di wilayah Kota Kupang. Namun pasca diterbitkannya UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004, pemkot Kupang akhirnya menuntut kepemilikan penuh atas PDAM karena sesuai amanat dari UU tersebut bahwa segala aset yang berada di wilayah daerah pemekaran menjadi milik daerah tersebut. Selain itu pemkot berargumentasi bahwa pelanggan PDAM adalah warga Kota Kupang sehingga tidak patut warga Kota Kupang menjalankan regulasi dari Kabupaten Kupang.
Konflik pun kian memanas ketika kantor pemerintahan kabupaten Kupang dipindahkan dari Kupang ke Oelamasi pada 2008 silam. Banyak aset milik kabupaten yang ada di wilayah Kota Kupang dituntut oleh pemkot untuk diambil alih, namun pemkab Kupang bersikeras menolak keinginan pemkot tersebut. Salah satunya adalah PDAM.
Hingga saat ini, perang opini di media masa pun masih berlangsung antara pemkab dan pemkot. Ancaman yang pernah dilontarkan oleh Jonas Salean, walikota Kupang bahwa akan mengambil paksa semua aset pemkab yang berada di wilayah kota dengan memberi deadline pada 31 Desember 2013 ditanggapi bupati Kupang, Ayub Titu Eki dengan menyatakan perang terhadap pemkot bila benar-benar ingin mengambil paksa aset PDAM dan 21 sumur bor. Dalam setiap kesempatan pun walikota mengancam akan mengeluarkan instruksi kepada warga kota Kupang agar tidak membayar tagihan PDAM kabupaten Kupang (Boy, 2013).

Lemahnya Payung Hukum
            Sejak berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 jo UU No. 32/2004, harus diakui telah terjadi banyak perubahan postif dan mendasar dalam sistem pemerintahan di daerah. Semangat kemandirian dikalangan aparat dan masyarakat lokal, lebih sejajarnya hubungan dan peran Pusat dan Daerah, serta lebih terakomodasikannya aspirasi rakyat dalam kerangka manajemen pemerintahan, adalah beberapa hasil konstruktif yang dapat diamati dari implementasi otonomi daerah. Meskipun demikian, harus disadari pula bahwa masih terdapat kekurangan baik dalam aspek material (kelemahan dilihat dari substansi pengaturan), aplikasi (kelemahan dilihat dari kesalahan penafsiran atau karena ketiadaan aturan pelaksana), maupun eksternalitas (kelemahan dilihat dari dampak langsung maupun tidak langsung akibat berlakunya suatu aturan) (Abdul Gaffar Karim, 2006:79).
            Kekurangan dari aspek material akan berimplikasi kepada perlunya revisi terhadap pasal dan ayat-ayat dalam aturan yang bersangkutan. Sementara dalam hal terjadi kekurangan aplikatif, penyusunan aturan organik dan koordinasi antar pihak-pihak terkait, mutlak diperlukan untuk memecahkan persoalan. Adapun kekurangan eksternalitas membutuhkan pengaturan tersendiri yang lepas dari peraturan induknya.
            Kelemahan dari UU otonomi daerah ini adalah ambiguitas pengaturan tentang kepemilikan aset daerah. Walaupun UU menggariskan bahwa aset yang berada di daerah tersebut otomatis menjadi milik daerah tersebut namun tidak memiliki kekuatan yang mengikat karena ada regulasi lain yang juga dipegang oleh daerah lain. Undang-undang ini justru tidak antisipatif terhadap ekses negatif yang timbul, semisal konflik antar daerah menyangkut kepemilikan aset. UU ini dinilai lemah, tidak berdaya mengatasi konflik kepemilikan aset daerah. Karena itu aspek material, aplikasi dan eksternalitas perlu direview dan direvisi untuk mengakhiri konflik antar daerah. Hemat penulis, UU ini perlu juga memasukan lembaga arbitrasi, mengatur mekanisme penyelesaian konflik untuk dapat menyelesaikan sengketa atau konflik di daerah, tidak saja konflik aset tetapi juga konflik lainnya.

Mediasi dan Intervensi Pihak Ketiga
            Ketika konflik bereskalasi, maka ia akan melewati sejumlah tambahan transformasi tertentu. Meskipun transformasi-transformasi pada masing-masing pihak terjadi secara terpisah, tetapi mereka mempengaruhi konflik secara keseluruhan karena biasanya dicerminkan kepada pihak lainnya. Sebagai hasil transformasi-transformasi ini, konflik terintensifikasi secara terus-menerus dan seringkali menjadi semakin sulit untuk diatasi (Mădălina Tomescu dan Mihaela Agatador Popescu, 2013:211).
            Orang atau pihak yang mengalami eskalasi bisa menjadi sangat terlibat dalam konflik yang tajam. Pendirian masing-masing cenderung mengarah ke kekakuan; pihak protagonis enggan menunjukkan kecendrungan konsiliatoris karena takut akan disalahinterpretasikan sebagai tanda kelemahan (Michael A Gross, 2013:97). Disamping itu masing-masing pihak mungkin tidak memiliki cukup imajinasi, kreativitas dan atau pengalaman yang dibutuhkan untuuk keluar dari himpitan yang mereka ciptakan bersama – bukan karena mereka tidak menginginkannya , tetapi karena tidak tahu bagaimana caranya. Jadi untuk berrbagai alasan, pihak-pihak yang berkonflik kadang-kadang tidak mampu atau tidak mau bergerak dengan usahanya sendiri menuju kepada kesepakatan (Daan Schraven, dkk, 2011:70). Di dalam situasi semacam ini, pihak ketiga seringkali menjadi terlibat karena diminta oleh salah satu pihak atau lebih yang terlibat konflik, atau karena inisiatif mereka sendiri.
            Disini peran penting dimainkan pihak ketiga atau mediator. Pihak ketiga, entah individu atau kolektif yang berada di luar konflik antara dua pihak atau lebih mencoba membantu atau memediasi mereka untuk mencapai kesepakatan. Dengan masuknya pihak ketiga, jalur destruktif eskalasi konflik para pelakunya dialihkan, paling tidak untuk sementara (Mantas Bileišis, dkk, 2014:24). Kehadiran pihak ketiga merupakan langkah yang tepat untuk menginterupsi berbagai gertakan, ancaman, kebohongan dan janji yang menandai usaha masing-masing pelaku untuk menenangkan konflik yang bereskalasi (Marc Gopin, 2013:137).
            Dalam menyelesaikan konflik aset antara pemkot dan pemkab kupang ini, hemat penulis diperlukan mediasi dan intervensi pihak ketiga. Mediasi dilakukan guna mempertemukan kedua bela pihak untuk mencari titik tengah atau win-win solution guna mengakhiri konflik yang ada. Mediasi dan intervensi pihak ketiga ini sangat dibutuhkan karena kedua pihak tetap pada pendirian masing-masing dan mengklaim memiliki kebenaran atas persoalan terkait sengketa aset daerah ini (Mădălina Tomescu dan Mihaela Agatador Popescu, 2013:204).
            Pihak ketiga yang dimaksud disini adalah pemerintah provinsi dan atau pemerintah pusat. Karena tanpa intervensi oleh provinsi atau pusat, konflik ini tidak akan pernah selesai. Masing-masing pihak diharuskan menerima apapun keputusan yang diambil oleh provinsi atau pusat. Karena itu langkah bijak provinsi atau pusat sangat diharapkan untuk mengambil keputusan yang sama-sama menguntungkan kedua bela pihak.
           
Epilog
Konflik yang terjadi di daerah sudah saatnya ditanggapi serius oleh pemerintah pusat. Kewenangan yang luas yang diberikan kepada daerah harus diikuti pula dengan payung hukum yang mampu mengakomodir kebutuhan daerah demi meminimalisir konflik. Anggaran yang cukup, lembaga arbitrasi dan mekanisme penyelesaian serta manajemen pengelolaan konflik perlu menjadi agenda masa depan untuk perbaikan pemerintahan daerah. Jika konflik seperti klaim kepemilikan aset dibiarkan begitu saja tentu berimplikasi terhadap keberhasilan otonomi daerah, perhatian dan risorsis yang ada di daerah tersedot untuk menyelesaikan konflik sehingga masalah-masalah strategis yang lain akhirnya tidak mendapat perhatian.


Referensi
Bileišis, Mantas, Arvydas Guogis dan Aušra Šilinskytė, 2014, Government-Community Conflict: the Lithuanian Public Governance Challenge, Public Policy and Administration 2014 Vol. 13 No 1, p. 22-35, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari Emerald Group Publishing Limited
Boy, 2013, Ayub Siap Perang dengan Jonas Untuk Pertahankan PDAM Kabupaten Kupang, Timor Ekspres, Rabu, 26 November 2013, diakses dari http://www.timorexpress.com/kupang-metro/ayub-siap-perang-dengan-jonas tanggal 24 Juni 2014
Dwiyanto Agus, dkk, 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Gopin, Marc, 2013, Conflict Analysis and Conflict Resolution: Divorce and Friendly Mediation, Negotiation Journal April 2013, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari ProQuest
Gross, Michael A., Raymond Hogler dan Christine A. Henle, 2013, Process, people, and conflict management in organizations, International Journal of Conflict Management Vol. 24 No. 1, 2013 pp. 90-103, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari Emerald
Hanis, Muhammad Hasbi, Bambang Trigunarsyah dan Connie Susilawati, 2011, The application of public asset management in Indonesian local government A case study in South Sulawesi province, Journal of Corporate Real Estate Vol. 13 No. 1, 2011 pp. 36-47, diakses tanggal 19 Juni 2013 dari Emeraldinsight
Karim, Abdul Gaffar, 2006, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerahdi Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Manyak, Terrell G. dan Isaac Wasswa Katono, 2010, Decentralization and Conflict in Uganda: Governance Adrift, African Studies Quarterly Volume 11, Issue 4 Summer 2010, diakses tanggal 21 Juni 2014 dari Nepantla
Olowu, Dele, 2012, The Constitutionalization of Local Government in Developing Countries—Analysis of African Experiences in Global Perspective, Beijing Law Review, 2012, 3, 42-50, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari ProQuest
Posthuma, Richard A., 2011, Conflict Management and Performance Outcomes, International Journal of Conflict Management Vol. 22 No. 2, 2011 pp. 108-110, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari Emerald Group Publishing Limited
Schraven, Daan, Andreas Hartmann dan Geert Dewulf, 2011, Effectiveness of infrastructure asset management: challenges for public agencies, Built Environment Project and Asset Management Vol. 1 No. 1, 2011 pp. 61-74, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari Emerald Group Publishing Limited
Tomescu, Mădălina dan Mihaela Agatador Popescu, 2013, Ethics and Conflicts of Interest In The Public Sector, Contemporary Readings in Law and Social Justice Volume 5(2), 2013, pp. 201–206, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari Emeraldinsight

Yousufi, Musab dan Musa Khan, 2013, Conflict Resolution: Military Operation or Peace Deal, Journal of Educational and Social Research Vol. 3 No. 3 September 2013, diakses tanggal 20 Juni 2014 dari ProQuest

Tidak ada komentar:

Posting Komentar